Chapter 35

761 22 4
                                    

Chapter 35

Viola POV

==

Tidak hentinya aku menatap layar ponselku yang menampakkan wajah Arion. Foto yang telah dikirim dari Line milik Bayu sengaja aku simpan. Karena, itu satu-satunya yang aku miliki dari Arion. Sempat aku mencetak foto tersebt dan aku pajang di dinding kamarku.

Namun, Romi curiga dari siapa aku mendapatkan foto tersebut padahal bayi kami dalam keadaan di culik. Aku hanya bisa diam saat Romi berusaha mati-matian mengetahui jawabanku.

"Viola, aku tanya satu kali lagi dan kamu harus jawab. Dari siapa kamu dapat foto anak kita?" mata Romi menusuk tajam pada mataku, membuatku susah berkedip saat itu juga.

Aku seperti terhipnotis begitu saja, membuatku ringan mulut. "Aku dapat Line dari Bayu, dua hari yang lalu. Dia mengirim foto itu."

Mata Romi semakin membulat, dia meraih ponselku yang tergeletak di nakas. Segera dia sibuk dengan ponselku. "Kenapa kamu tidak memberitahuku soal ini? Apa kamu tidak ingin Arion kembali?"

"Aku ingin, bahkan sangat ingin dia kembali. Tetapi, apa salahnya kita titip Arion sama dia?"

Romi menggeleng, dia tersenyum masam kepadaku. "Tidak Viola, itu pikiran yang bodoh." Romi kembali sibuk dengan ponselku, lalu dia menatapku dengan tajam lebih dari yang tadi. "Atau, kamu masih ada rasa dengannya?"

"Rasa? Tidak mungkin. Lagipula, aku sudah memilikimu."

"Kamu masih memiliki sedikit kenangan yang mampu membuatmu memikirkan dia."

"I-itu sudah aku hapus."

Romi mendesah, dia menyerahkan ponselku dengan kasar lalu beranjak dari duduknya. "Aku tidak tahu jalan pikirmu Viola. Seolah kamu terima saja Arion di asuh olehnya. Seharusnya jika kamu sudah tahu kamu harus mencari tahu dimana dia tinggal. Rebut kembali Arion.

"Tapi aku salah, ternyata kamu masih mencintai dia." Romi melenggang pergi dan menutup pintu kamar dengan keras. Membuatku tersentak dan sedikit terpekik. Tidak pernah aku melihat Romi semarah ini.

Dia sangat marah saat ini. Pasti dia akan lari ke tempat dimana ada Novi berada. Pikiran itu membuat mataku memanas dan akhirnya mengeluarkan cairan bening. Isakanku semakin keras saat perutku merasakan sakit perih.

Di kandunganku dua bulan ini, aku tidak pernah merasakan perutku perih seperti ini. Membuatku guling-guling menahan sakit. Sesekali aku menjerit menyebut nama Romi. Berharap dia mendengar dan segera datang ke arahku.

Tetapi, semakin lama perutku semakin sakit. Membuatku terpaksa menelpon Rezal agar dia datang kesini dengan cepat. Kantor Papa dekat dengan rumah jadi mungkin dia akan cepat menolongku.

"Halo kak, ada apa?" tanya Rezal dari seberang sana.

"... Rezal, tolong kakak. Cepat kamu kesini."

"Kakak kenapa? Tunggu kak, aku segera kesana."

Aku mendesah kuat saat perutku seperti terlilit. Menangis karena takut bayiku dalam bahaya. "Ce-pat."

Sepuluh menit menunggu, akhirnya Rezal datang dengan nafas tersengal. Dia terkejut melihatku menangis dan menahan sakit. Akhirnya, dia membawaku ke dalam mobil dan segera melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah sakit.

Selama perjalanan aku merintih kesakitan, membuat Rezal semakin panik melihatku yang seperti cacing kepanasan. Aku terus memegang perutku yang terasa panas dan perih. Pikiranku masih kacau, memikirkan nasib bayiku.

"Kak, tolong tahan sebentar ya?"

"Aku udah nggak tahan lagi, cepat Rezal.... Aku takut bayiku kenapa-kenapa."

Fascinated (Dalam Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang