Preticia mempunyai alasan untuk menetap di sini.
Semula keraguannya berubah menjadi keyakinan apalagi setelah tahu bagaimana sikap sang pria terhadap Ayahnya.
Atau haruskah sekarang Preticia memanggilnya dengan nama Lynch?
Sejak tahu bahwa Ayahnya sering menyebut nama Lynch membuat Preticia berspekulasi bahwa Lynch memang nama dari sang pria yang menyelamatkannya. Alasan mengapa dia tak menyebutkan namanya di pertemuan awal mereka itulah yang tidak Preticia ketahui.
Dan sekarang Preticia ingin mengetahui alasannya.
"Aku ingin tahu namamu."
"Bukankah kau sudah tahu?"
"Memang salah jika aku ingin tahu dari dirimu sendiri? Aku ingin kau yang memperkenalkan dirimu padaku."
"Memang apa bedanya kau tahu namaku dari diriku atau dari orang lain?"
"Jelas beda. Sensasinya akan berbeda."
Sang pria kembali diam dan tak menjawab lagi, ia justru malah mengalihkan pandangannya.
Saat ini Preticia tengah mengikuti sang pria untuk mengambil air di sumur. Ia mengetahui kebenaran bahwa di lingkungan di mana para algojo tinggal hanya ada satu sumber air yang bisa digunakan oleh mereka, yaitu sumur tua yang dekat dengan danau.
Hanya saja, banyak orang yang mengantri untuk mengambil air di sumur tersebut. Sangat banyak hingga rasanya Preticia lelah menunggu. Karena jengah dengan keterdiaman mereka dan juga rasa penasaran yang teramat sangat pada pria yang telah menolongnya, Preticia membuka pembicaraan di antara mereka.
Namun itu semua percuma karena lagi-lagi sang pria selalu memutus pembicaraan saat Preticia bertanya tentang hal yang tak ingin dijawabnya.
"Hampir setiap hari orang-orang selalu mengantri untuk mengambil air?" Memilih untuk mengganti topik pembicaraan.
"Iya," jawabnya singkat.
"Memangnya tidak ada sumber air lain? Sungai gitu?"
"Jaraknya jauh. Hanya ini sumber air yang ada."
"Apa mereka tidak lelah?" Preticia menggumam sembari mengibaskan tangan pada wajahnya, merasa gerah karena saat ini ia berdiri di tengah terik matahari yang panas.
"Seorang putri sepertimu tidak akan pernah tahu penderitaan rakyat kecil seperti kami,"
Ia mengatakannya dengan pelan, bahkan sangat pelan hingga hanya Preticia saja yang dapat mendengarnya.
Sang pria kembali mengambil ember lalu melangkah maju saat antrean sudah mulai berjalan ke depan membuat Preticia kembali mengikutinya.
Ia terus menatap pria yang minim ekspresi itu, padahal saat tadi ia bersama dengan keluarganya, ia sangat ekspresif.
"Jangan terus menatapku. Aku risih jika ditatap seperti itu!"
"Kau tahu aku seorang putri, tapi nada bicaramu tidak ada sopan-sopannya sama sekali,"
"Kau seorang putri jika berada di istanamu. Tapi kau di sini, di tempatku. Di sini tidak ada status yang menjadi penghalang untuk berinteraksi dengan seseorang, semuanya memiliki derajat yang sama di sini."
Preticia tidak dapat berbohong bahwa ia terpaku dengan ucapan sang pria. Derajat yang sama? Di mana tak ada status yang menjadi penghalang untuk berinteraksi dengan sesama manusia?
Bisa dibilang Itulah impiannya. Ia ingin berada di lingkungan di mana status bukanlah suatu hal yang penting dan kita bisa berinteraksi secara santai tanpa harus memandang rendah atau tinggi status orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Want To Be With You [The End]
Roman d'amour[Cerita ini hanyalah karya fiksi semata baik nama, tempat, penokohan, serta nama organisasi. Semua tidak terjadi di dunia nyata dan hanya bersifat khayalan. Mohon bijaklah dalam membaca. Terima kasih!] #mari vote dan komen, wahai kalian yang membaca...