Preticia merasa asing.
Ia tak terbiasa bergaul dengan banyak orang di satu tempat. Keadaan ini memaksanya untuk bergabung bersama mereka.
Membuat pesta kecil-kecilan atas kembalinya Lynch setelah bekerja selama dua minggu, membuat Preticia tergabung dalam kelompok kecil para algojo. Meski tak semua kalangan algojo bergabung, tapi tetap saja ini sangat ramai.
Semua orang mengobrol sana sini, para wanita bergosip dan bercanda sambil menyiapkan alas untuk makan. Sementara para pria memasak makanan yang bahan-bahannya sudah disiapkan. Malam hari ini terlihat sangat terang dengan api unggun yang menyala di tengah mereka.
Baik kalangan dewasa maupun kalangan muda berbaur seakan tak ada sekat apapun yang menghalangi interaksi mereka.
Preticia yang bingung harus melakukan apa karena tak ada satupun yang mengajaknya berbicara akhirnya hanya duduk diam di atas batu sambil memerhatikan interaksi mereka satu persatu. Hingga ia menatap Lynch dan memutuskan untuk memusatkan perhatiannya pada pria itu.
"Adakah yang memperlakukanmu dengan tidak baik, Lynch?"
"Tidak ada Paman. Sejauh ini lancar-lancar saja,"
"Paman tidak tahu, kau bekerja untuk siapa?"
"Untuk kerajaan,"
"Berarti kau yang mengurus para penjahat di bawah tanah ya?"
"Iya, kebanyakan para pengkhianat dan penyusup."
"Paman jadi ingat masa-masa Paman bekerja sebagai algojo, meski sering dipandang hina dan dianggap sebagai kutukan, tapi Paman bersyukur karena bisa menghukum orang jahat dengan tangan Paman sendiri."
Lynch hanya tersenyum saja.
"Ngomong-ngomong, tumben kau mau bicara dengan orang yang bukan dari kalangan kita? Apa dia kekasihmu?"
"Bukan. Aku hanya merasa kasihan padanya, dia tidak memiliki tempat tinggal," pandangan mereka bertemu, namun Preticia enggan untuk mengalihkan tatapannya dan lebih memilih untuk terus menatap Lynch sampai dia sendirilah yang memutuskan kontak matanya. "Hidupnya lebih menderita dariku," katanya yang masih dapat didengar oleh Preticia.
Tentu saja Preticia merasa kesal. Dia terlalu melebih-lebihkan ceritanya. Pertama, Lynch mengatakan bahwa dirinya seorang budak yang kabur, setelah itu ia juga bilang bahwa Preticia tak memiliki siapa-siapa lagi, tak memiliki tempat tinggal dan tersesat di hutan. Meskipun benar ada pernyataan bahwa dirinya tak memiliki tempat tinggal dan tersesat di hutan, tapi hidupnya tak semiris itu sampai harus dikasihani.
Pria paruh baya yang berbicara dengan Lynch melirik ke arahnya, kemudian ia berbisik pada Lynch. Preticia tak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan lagi hingga akhirnya Preticia memilih untuk mengalihkan pandangannya. Memilih untuk menatap sekelilingnya.
"Hei kau, budak!" Preticia mendengar itu, tapi tidak merasa jika itu ditunjukkan untuknya
"Hei ... kau tuli, ya?" Masih tetap menganggap bahwa itu bukan untuk dirinya meski Preticia mendengar seruan itu.
"Hei ... Tuan Putri!" baru setelah itu Preticia menoleh ke sembarang arah, mencari seseorang yang memanggil namanya.
"Lihatlah budak ini, dia sedang berkhayal menjadi Tuan Putri rupanya."
Tak jauh darinya ada Viana yang tengah mengejeknya sambil tertawa bersama dengan teman-temannya yang tidak Preticia kenal.
"Mimpinya ketinggian sekali," seru salah seorang teman Viana, Emma.
"Lihatlah dirimu! Bahkan dengan Viana saja masih lebih pantas Viana untuk menyandang status Tuan Putri." Ejek teman yang lainnya, Tina.
Preticia mengabaikan itu semua dan lebih memilih menatap ke arah lain. Bukan karena tersinggung dengan ucapan mereka, toh dirinya memang seorang putri. Lantas mengapa ia harus merasa tersinggung dengan ucapan mereka?
![](https://img.wattpad.com/cover/299003109-288-k398309.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I Want To Be With You [The End]
Romance[Cerita ini hanyalah karya fiksi semata baik nama, tempat, penokohan, serta nama organisasi. Semua tidak terjadi di dunia nyata dan hanya bersifat khayalan. Mohon bijaklah dalam membaca. Terima kasih!] #mari vote dan komen, wahai kalian yang membaca...