BAB XXVIII : Tentang Preticia

151 29 5
                                    

Lynch meringis saat tangannya mengobati luka Preticia. Pipinya memerah disertai dengan bekas tamparan di sana. Entah apa yang Alice dan Viana lakukan padanya dan itu memicu kemarahan di dalam hati Lynch.

Kalau saja Lynch menyadarinya lebih awal, mungkin semua ini tak akan terjadi. Kalau saja Lynch datang sedikit lebih cepat, Preticia mungkin tak akan mengalami hal seburuk ini.

Tanpa sadar air matanya menetes melewati pipinya ketika tangannya kembali mengompres pipi Preticia menggunakan handuk yang sudah ia basahi. Dalam dirinya dipenuhi dengan penyesalan-penyesalan tak berarti. Ia gagal dalam melindungi gadisnya.

Preticia pun hanya diam saja sambil melamun. Tak ada ringisan apapun yang keluar dari bibirnya. Padahal Lynch tahu, pasti rasanya sangat sakit sekali baginya yang baru pertama kali mendapatkan kekerasan seperti ini.

Lynch paling benci dengan keadaan seperti ini, keadaan di mana ia tak bisa melakukan apapun untuk gadisnya. Ia hanya bisa mendengarkan Preticia yang menangis selama berjam-jam tanpa tahu harus melakukan apa untuk menenangkannya.

Ia benci menjadi tak berguna.

Setelah selesai mengobati luka Preticia, Lynch membereskan semuanya lalu berjalan mendekati Preticia dan duduk di belakangnya. Ia mengambil sisir untuk merapihkan rambut Preticia yang terlihat berantakan. Padahal Lynch menyisirnya dengan pelan, namun rambut-rambut itu memisahkan diri dari kulit kepalanya sedikit demi sedikit.

Dan lagi. Air mata Lynch kembali menetes tanpa bisa ia tahan.

Lynch tetap menyisir rambut Preticia, merapihkannya agar tidak semakin kusut dan menggumpal di beberapa tempat.

Setelah selesai, Lynch mengambil selimut guna menyelimuti seluruh tubuh Preticia lalu menatap wajahnya yang pucat. Lynch menangkup kedua pipinya, memaksa Preticia agar menatap matanya.

"Kau tidur di sini saja, ya? Aku akan menjagamu!" Hanya senyuman tipis yang mampu Preticia berikan untuk Lynch.

Jari jempol Lynch tanpa sadar bergerak mengusap kedua mata Preticia, menghapus sisa-sisa air matanya.

"Semua pasti akan berlalu. Hari ini akan berakhir dengan mimpi indah dalam tidurmu, kau hanya perlu memejamkan matamu sambil membayangkan momen indah yang pernah kaulalui, mengerti?" Preticia mengangguk, menghadirkan senyuman tipis dari bibir Lynch.

Lynch menuntun Preticia untuk berbaring di tempat tidurnya kemudian membenarkan selimut agar menutupi seluruh tubuhnya. Setelah usai, Lynch hendak pergi namun terhentikan oleh sentuhan dingin yang memegang tangannya.

"Jangan tinggalkan aku!" suaranya serak dan dingin, sarat akan permohonan yang memilukan hati siapa saja yang mendengarnya. Lynch berlutut di samping tempat tidur, mengarahkan tangannya untuk mengelus pelan puncak kepala gadisnya. Ia menopang dagu sembari menatap Preticia yang sudah mulai memejamkan matanya.

Menit pun berlalu, cukup lama Lynch melakukan hal tersebut sampai Preticia benar-benar tertidur. Setelah memastikannya, Lynch bangkit dan pergi meninggalkan Preticia, membiarkannya untuk tertidur.

"Kau ingin ke mana, Lynch?" tanya sang Ayah yang ternyata masih terjaga.

Lynch berbalik menatap sang Ayah kemudian menghampirinya untuk duduk di tepi kasur milik Ayahnya. Jarak antar tempat tidur Ayahnya dengan Preticia tak begitu jauh, hanya bersekat lemari kayu yang menghalangi pandangan mereka.

"Apa dia baik-baik saja?" tanya Vernand lagi saat melihat wajah murung anaknya.

Lynch menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

"Ayah juga tak menyangka bahwa mereka akan melakukan hal itu pada Preticia," ucap Vernand dengan raut wajah yang sedih. Ia begitu kaget saat melihat Lynch membawa Preticia kemari dalam keadaan yang bisa dibilang sangat berantakan.

I Want To Be With You [The End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang