BAB XXII : Tetap Bersama, ya?

178 29 10
                                    

"Sebenarnya kalian semua tahu jalan tidak, sih?"

Teriak Eldrick marah. Ia kesal sebab sedari tadi mereka hanya berputar-putar saja di tempat yang sama padahal hari sudah semakin siang.

"Maaf Pangeran! Kami sama sekali tidak mengetahui tempat tinggal para algojo juga semua tempat terlihat sama di sini."

"Hutan ini memang tak pernah ditelusuri oleh siapapun kecuali para algojo yang bekerja, Pangeran."

Eldrick menggeram. Matanya kian menajam melihat prajuritnya yang menjelaskan bahwa mereka tak tahu arah.

"Kenapa tidak bilang dari tadi? Kalian sengaja ya mengulur-ngulur waktu?"

"Ti–tidak Pangeran," para prajurit berlutut di hadapan kuda Pangeran Eldrick sambil berkata dengan gugup. Mereka merasa takut Pangeran Eldrick akan meledakkan amarahnya di sini. Sebab di sini tak ada Raja yang mampu menghentikan kemarahan Pangeran Eldrick yang menyeramkan, bahkan terlihat tak segan untuk membunuh siapa saja yang tidak bisa memenuhi perintahnya.

Melihat prajuritnya yang berlutut, Pangeran Eldrick mendengus sebal. Ia turun dari kudanya lalu bersandar pada salah satu pohon.

Akibat terlalu ingin bertemu dengan Preticia, ia juga tak menyadari bahwa hutan ini memang berbahaya. Hanya para algojo saja yang bisa dengan leluasa keluar masuk hutan tanpa harus tersesat, sebab di hutan ini semua pohonnya terlihat sama. Entah bagaimana cara mereka bisa mengingat jalan yang mereka lalui.

"Kembali ke istana dan ajak salah satu algojo kemari. Bilang saja itu perintah dariku!" titah Eldrick.

"Baik, Pangeran."

Sementara beberapa prajuritnya pergi, Eldrick beserta prajurit yang masih tersisa menunggu mereka sambil beristirahat di bawah pohon yang rindang.

Bahkan cahaya matahari saja sangat sedikit menembus pohon-pohon di hutan sehingga menciptakan kesan gelap dan hampa di sekitar mereka.

"Kalau kau memang berada di sini, bagaimana caranya kau bisa melewati hutan, putri liar? Kau pasti sangat ketakutan sekarang. Tenang saja, sebentar lagi aku akan menjemputmu!" gumam Eldrick.

Ia memejamkan mata, membayangkan saat-saat terakhir ia bertemu dengan Preticia. Saat itu malam hari, di taman bunga istana Duke dan hanya ada mereka berdua saja di sana. Eldrick masih ingat wangi parfum yang dipakai oleh Preticia, hiasan apa saja yang digunakan olehnya serta gaun seperti apa yang dipakai olehnya. Malam itu Preticia terlihat cantik dan bersinar dibanding putri bangsawan yang lainnya.

Oh ... jangan lupakan ekspresi kekesalan di wajah Preticia, itulah yang membuat Eldrick semakin tertarik kepadanya. Hanya dengan memikirkannya saja, jantung Eldrick berdebar kencang. Ibu bilang ini cinta. Jika benar begitu, Eldrick bersyukur karena cintanya jatuh pada putri bangsawan seunik Preticia.

Sementara itu, orang yang sedang dipikirkan oleh Eldrick sedang asik makan siang bersama dengan orang yang dicintainya.

"Masakan Bibi Ricci itu memang yang paling enak deh," seru Preticia.

"Benarkah? Memangnya masakan di kediamanmu tidak?"

"Enak, tapi lebih enak masakan Bibi Ricci."

Preticia kembali melahap makanannya sambil menatap Lynch. Bahkan saat mengunyah pun ia masih menatap Lynch.

"Jangan menatapku seperti itu,"

"Mengapa? Memangnya aku tak boleh menatap kekasihku?"

Lynch terkekeh. "Kau ini jago mengatakan kata-kata manis, ya?"

"Tidak tahu. Tapi percayalah, hanya padamu saja. Justru aku malah ingin bertanya, apakah aku juga menjadi gadis yang pertama untukmu?"

"Kalau kujawab tidak bagaimana?" Preticia terdiam, ia mengulum bibir sambil mengangguk kecil dengan pandangan yang menunduk, terlihat ada raut kekecewaan di sana.

I Want To Be With You [The End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang