BAB XXIII : Kunang-kunang

152 26 3
                                    

Saat ini tengah malam. Sesuai perjanjian, Preticia akan menyelinap keluar untuk menemui Lynch yang kemungkinan sudah menunggunya di pinggir hutan.

Ia melangkah dengan hati-hati sambil menatap sekitarnya yang sepi juga sunyi, hanya ada cahaya bulan sebagai penerangannya.

Kakinya mulai berhenti melangkah saat Preticia melihat siluet seseorang di depan sana. Dengan suara yang lirih, Preticia memanggil sosok tersebut.

"Lynch?"

Namun tak ada jawaban apapun darinya.

Preticia berdiri mematung sambil meremas kuat gaunnya, menyalurkan ketakutan yang dirasakannya saat ini.

Hingga siluet itu mendekat, tiba-tiba ia menerjang mendekati Preticia dan berdiri di belakang tubuhnya. Preticia hampir berteriak kalau saja orang itu tidak membekap mulutnya.

Preticia mulai meronta untuk melepaskan diri.

"Hei tenanglah ini aku," bisiknya di belakang tubuh Preticia. Ia berbisik di sela-sela rambut panjang Preticia sambil terkekeh saat tubuh Preticia sudah kembali normal.

Di kegelapan malam, di mana hanya ada cahaya bulan yang menerangi sekitar mereka, Preticia melihat Lynch tertawa tanpa suara, membuat Preticia diliputi perasaan kesal namun juga senang.

"Ayo kita pergi dari sini," ujarnya kembali berbisik.

Preticia menurut saat Lynch menggenggam tangannya dengan erat sambil berjalan menjauhi pemukiman. Saat sampai di pohon besar, Lynch berhenti dan menyalakan api untuk kemudian ia nyalakan pada sumber api kecil di bagian atas belahan kayu, dan jadilah obor sebagai penerang jalan untuk mereka.

Mereka kembali berjalan menyusuri hutan, lalu pada saat sudah jauh dari pemukiman warga, Lynch kembali tertawa sambil memperagakan ekspresi ketakutan dari Preticia.

Melihat itu Preticia jadi jengkel, ia memukul lengan Lynch bahkan sesekali mecubitnya dengan pelan.

"Kau mulai jahil ya sekarang," ujar Preticia di sela-sela cubitannya.

"Bukankah kau yang mengajarinya?"

"Aku?"

"Kau 'kan yang mengajariku, tuan putri."

Tepat setelah Lynch mengucapkan hal itu, Preticia terdiam. Senyum pun hilang dari wajahnya dan hal itu tak luput dari penglihatan Lynch.

Sepertinya Lynch salah bicara. Ia pun mengganti topik pembicaraan, tak ingin merusak suasana romantis di antara mereka.

"Mau kugendong?" ujarnya menghadirkan senyuman manis dari Preticia.

Lynch menyerahkan obor yang dipegangnya pada Preticia kemudian ia berlutut di hadapan Preticia, menyerahkan punggungnya untuk Preticia naiki. Dengan sangat antusias, Preticia menaiki punggung Lynch sambil merentangkan tangan kanannya ke depan dengan jari-jari yang terkepal. Ia pun berteriak heboh, "Ayo Lynch, lari!"

"Kau yakin?"

"Bukankah seharusnya aku yang bertanya? Apa kau sanggup jika berlari sambil menggendongku?"

"Apapun untuk kekasihku!" Lynch tak tahu bahwa ucapannya itu mampu membuat jantung Preticia berdebar kencang disertai dengan wajah yang memerah. Preticia kesulitan untuk tidak tersenyum.

"Baik, besiaplah." Tanpa persiapan apapun, Lynch berlari mendatangkan pekikan ringan dari Preticia. Ia memeluk leher Lynch dengan erat sambil tertawa sepanjang jalan.

Lelah berlari, Lynch berjalan. Terus seperti itu sampai mereka tiba di tempat tujuan.

Matanya tak mampu untuk ia kedipkan saat melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya, seakan jika ia berkedip sedetik saja maka keindahan ini akan menghilang.

I Want To Be With You [The End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang