49. The Holiday

218 19 3
                                        

Jeju island,

Surganya korea, wisatawan bilang.

Liburan yang direncanakan sebenarnya tidak sampai harus ditempuh dengan jarak sejauh ini. Tidak pula harus menggunakan pesawat segala, meskipun hanya perlu waktu satu jam, perjalanan dari Seoul ke pulau paling indah dikorea ini tidak begitu baik untuk kesehatan Bomi.

Seorang dokter pribadi diajak Namjoon untuk ikut guna berjaga-jaga. Tak lupa juga dengan Songhee selalu disisinya.

Namjoon menyewa villa yang paling dekat dengan pantai, ia melakukannya sendiri, karena jelas Misoo tidak mungkin bisa ia libatkan. Biasanya soal pesan memesan tempat untuk relasi bisnis, wanita itulah yang melakukan.

Sesampainya mereka di Jeju, Namjoon meminta Bomi untuk langsung beristirahat. Bomi menurut, ia tidak ingin membuat Namjoon marah dan membawanya langsung pulang jika ia nekat berlari ke pantai,  padahal sore menjelang malam jelas menyenangkan untuk menghabiskan waktu bersama hamparan sunset diatas kepala. Tapi Bomi menurut.

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Bomi sudah tidur dikamarnya bersama Songhee. Namjoon memisahkan dirinya, tidak ingin sekamar dengan Bomi karena sering merasa bersalah ketika melihat gadis itu tertidur. Ini juga alasan kuatnya mengajak Songhee, karena jika tidak. Bomi pasti tidak bisa tidur sendirian disebuah ruangan sekalipun ia tidak meminta Namjoon untuk menemaninya, Namjoon bisa menebak Bomi akan terjaga semalaman, karena terlalu takut untuk menutup mata. Tapi sekarang dia lega karena sudah memastikan Bomi terlelap nyaman dalam pelukan Songhee.

Kini Namjoon sedang berdiri dibalkon kamarnya, memegang pagar kayu sembari menatap ombak pantai yang semakin kuat dimalam hari.

Tanpa pakaian berlengan, Namjoon sebenarnya kedinginan mengenakan singlet putihnya, tapi ia sama sekali tidak terganggu, ia membiarkan angin pantai malam menusuknya.

Seketika Namjoon merindukan ibunya, sosok wanita yang pergi diumurnya yang sama sekali belum dewasa, meninggalkannya disaat ia belum siap karena nyatanya tidak ada seorangpun yang siap akan kehilangan.

Kematian ibunya disebuah kamar hotel, berlumuran darah dengan sayatan di perut yang menganga, Namjoon sukses menangis jika mengingat hal itu, membayangkan betapa sakit penderitaan yang ibunya rasakan.

Belum lagi ayahnya yang bukannya mencari tau pelaku, malah memilih untuk menutup kasus karena saat itu perusahaannya sedang meluncurkan produk baru.

Sejak awal hubungan Namjoon dan ayahnya sama sekali jauh dari kata baik. Namjoon tidak begitu dekat bahkan asing. Tapi ia tetap hormat pada sang ayah, dan menangis saat ayahnya mengalami kecelakaan pesawat dan pergi meninggalkannya.

Namjoon yang menyadari airmatanya menurun membasahi pipinya kini tersenyum miring. Menertawai dirinya sendiri.

"liburan macam apa ini. Aku sama sekali tidak terhibur." ucapnya sendirian.

Perlahan Namjoon menudukkan kepalanya, membiarkan tangannya bertumpu lurus pada pagar itu, menggenggam kuat, hingga akhirnya isakan terdengar.

Namjoon menangis.

Ada wajah yang kaget mendengar isakan itu dari balik pintu balkon. Seseorang itu perlahan mendekat, dan menyentuh pundak Namjoon, untuk menguatkan.

Namjoon menoleh, secepat mungkin ia menghapus air matanya.

"Songhee? Apa ada yang kau butuhkan?" ucap Namjoon, suaranya sedikit serak.

Songhee menggeleng. Ia menatap mata Namjoon, ikut sendu melihat jelas kesedihan yang berusaha ditutupi oleh pria berbadan besar itu.

Namjoon kembali membalikkan badannya, menatap pantai. "tadi, kau melihatnya?" tanya Namjoon.

"hmm." Sahut Songhee, ia kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Namjoon, berdiri disamping pria itu, juga menatap lurus kearah pantai.

"aku bodoh ya? Ini liburan, seharusnya aku senang, bukan menangis." Namjoon berusaha menarik senyumnya yang terasa sulit.

"Joon, Liburan tidak hanya tentang bersenang-senang, tapi juga tentang melepaskan segala kekangan yang menyiksa. Jadi ayo, keluarkan saja semuanya, sampai kau merasa lega."

Namjoon menunduk, ia setuju akan kalimat Songhee, pun airmatanya kini turun melewati pipinya, isak tangis perlahan terdengar, Songhee menarik tubuh Namjoon dan memeluknya.

Dukungan adalah yang paling dibutuhkan Namjoon saat ini, dia dan Bomi sama-sama membutuhkan dukungan namun terasa sulit untuk saling memberikan, hingga harus ada orang lain yang terlibat.

---

Yang ditunggu Bomi akhirnya tiba, kicauan burung dipagi hari memanjakan telinga, Bomi tersenyum ketika ia membuka matanya.

Segera bangkit dari tempat tidur, Bomi melirik pantai dari jendelanya, tak sabar ingin segera ke sana.

Setelah melakukan rutinitas pagi seperti membersihkan diri dan sarapan, Bomi akhirnya menginjakkan kakinya ke pasir putih tanpa menggunakan alas kaki. Senyumannya tak pernah pudar, sesekali ia tertawa sambil melihat ke arah Namjoon kala ombak kecil seakan mengajaknya bermain.

Namjoon menggenggam satu tangan Bomi, menemani gadis itu berjalan ditepian pantai sembari menikmati angin pagi dan matahari hangat yang menyegarkan.

"kau suka?" Tanya Namjoon.

Bomi mengangguk. "suka sekali." ia menarik tangan Namjoon untuk lebih dekat dengan air. "ayo daddy, lebih kesini." ajaknya.

Namjoon menurut saja, asal Bomi senang.

Sedangkan Songhee sedang berada dipondok kayunya, mengamati Namjoon dan Bomi sambil tersenyum tipis. Songhee masih menyukai Namjoon, sulit untuk menghilangkan perasaan itu dengan cepat, tapi ia tetap bahagia melihat Bomi bergembira disana. Bagi Songhee, Bomi adalah segalanya, bagaikan adik juga anak yang akan selalu ingin dia bahagiakan. Namun tetap tidak bisa berbohong karena rasa cemburu itu pasti ada.

Songhee akhirnya memutuskan untuk beranjak, kembali ke penginapan.

Namjoon melirik dari jauh, memperhatikan langkah Songhee yang akhirnya menghilang menenggelamkan diri didalam penginapan, mencari ketenangan agar hati tidak semakin terkoyakkan. Otaknya cukup pintar untuk mengerti apa yang dirasakan Songhee sekarang, pun ia juga tidak berniat melakukan apa-apa agar rasa yang Songhee miliki bisa segera pudar.

"daddy, look at this!" suara nyaring Bomi membuyarkan lamunannya.

Namjoon menoleh. Seketika matanya melotot kaget. "don't touch it, itu ubur-ubur. Berbahaya."

Terlambat Bomi sudah menaikkan makhluk lembut itu keudara, memegangnya dengan jemari lentik tanpa rasa berdosa.

"aaakhh!" Bomi berteriak, melemparkannya kembali ke air.

Ia tersengat.

Namjoon seketika panik. "are you okay?"

"sakit."

Namjoon segera menarik Bomi untuk menepi.

Bomi meniup-niup tangannya yang terasa panas sembari menangis, Namjoon pun meraih tangan gadis itu untuk meniupnya juga. Bahkan Namjoon mengecupnya dua kali.

Bomi memperhatikan Namjoon yang begitu khawatir padanya, ada rasa aneh yang mendadak muncul, rasa yang sebenarnya sering ia rasakan tapi ia bingung harus menyebutnya apa.

"akan daddy panggilkan dokter, kau tunggu disini."

"andwae!" Bomi menahan Namjoon untuk pergi.

"kenapa jangan?" tanya Namjoon.

Bomi juga bingung kenapa ia melarang Namjoon untuk pergi, padahal jelas tadi ia menangis karena tangannya sakit, tentu memanggil dokter adalah hal harus dilakukan, pun mereka kemari juga bersama dokter pribadi.

Bomi terdiam.

Namjoon terus memperhatikan wajah Bomi, menunggu jawaban dari gadis itu, namun yang terjadi hanyalah keheningan dengan kepala yang tertunduk. Pun Namjoon tak punya pilihan, ia meraih tubuh Bomi naik ketangannya, dan menggendong gadis itu menuju ke penginapan, wajah terkejut tentu tak luput dari ekspresi Bomi yang terus memandangi Namjoon dari posisinya. Debaran jantung mendadak memenuhi dirinya saat ini, tak teringat lagi rasa panas ditangannya karena yang ia tau hanyalah rasa aneh yang sebelumnya ia pertanyakan kini semakin terasa mendebarkan.

Wild Feeling | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang