Miru yang masih belum selesai dengan pergulatan pikirannya, kini hanya dia dan berpikir sejenak masih menyerap apa yang sebenarnya Farzan lakukan. Tangannya terulur memberikan plaster luka tepat di hadapannya setelah mengeurnya di kelas di hadapan teman-teman kelasnya.
"Ini terima aja! Buat nutupin luka di tangan kamu agar tidak infeksi, " ucapnya dengan tangan yang masih terulur.
"Hah? Te...terimakasih pak, tapi bapak tau dari mana tangan saya luka dan sepertinya ini tidak perlu karena goresannya ringan jadi tidak perlu ditutup dengan plaster," ucap Miru seraya menunjukkan telapak tangan yang memang tidak terlalu parah lukanya hanya beberapa goresan saja.
"Tapi jika tidak ditutup, lukamu bisa infekasi jadi pakai saja dan saya benar-benar minta maaf atas kejadian tadi pagi. Kalau begitu saya permisi dulu." Farzan meletakkan plaster di atas meja dan segera berjalan ke arah meja tempat ia duduk sebelumnya untuk mengambil laptop sebelum akhirnya melangkah cepat menuju pintu keluar.
"Baiklah, Oh iya pak, terus ini saya sudah boleh pulang?" Miru yang akhirnya menyerah dan mengambil plaster itu bertanya hal yang sudah jelas jawabnnya.
"Kalau mau pulang silahkan, jika mau tetap di sini untuk menginap juga silahkan," ucap Farzan seolah meledek mahasiwi yang sangat aneh menurutnya.
"Tidak pak! tunggu! saya juga minta maaf atas sikap saya tadi pagi dan terima kasih untuk plasternya. Kalau begitu saya permisi Assalamu'alaikum." Miru menghentikan langkah Farzan yang hendak keluar dan meminta maaf tapi setelahnya ia segera berlari lebih dulu melewati Farzan yang mematung.
"Iya, wa'alaikumsalam," jawabnya pelan menggelengkan kepalanya melihat Miru yang sudah keluar kelas.
Miru mengatur napasnya yang dengan ritme jantung yang tidak karuan setelah merasa sudah cukup jauh dari jangkauan dosennya. Beruntungnya ini perkuliahan akhir jadi semua mahasiswa sudah pulang dan hanya beberapa mahasiswa saja yang masih setia duduk di depan ruang dosen menunggu giliran untuk bimbingan skripsi di sore hari yang seharusnya sudah jam pulang.
"Kenapa sejak bertemu dengannya jantungku seperti berpacu lebih cepat seperti sedang di kejar oleh sesuatu yang kasat mata? Oh no!" Ia terus berdialog sendiri menururni anak tangga.
"Astaghfirullah sadar Miru!" Ia terus menepuk-nepuk pipi menyadarkan diri agar ia tak terlalu jauh berpikir yang bukan-bukan.
Akhirnya aku sampai di area parkir dan sebelum melajukan motor, ia menyempatkan diri mengeluarkan ponsel yang ternyata sudah tertera banyak pesan dari teman-temannya yang bertanya soal keberadaannya saat ini. Ia melihat jam di tangan yang sudah hampir menunjukkan waktu ashar, akhirnya ia membalas pesan mereka dan mengatakan bahwa saat ini dirinya sedang bersiap-siap untuk pulang.
Ia melajukan motor dengan perlahan. Belum terlalu jauh motornya membelah jalanan kota, Ia mendengar suara azan berkumandang dari arah masjid yang tidak jauh jaraknya dari kampus. Pada akhirnya Ia memutuskan untuk mampir ke Masjid dan ternyata sudah banyak mahasiswa yang baru pulang sama sepertinya mampir untuk sekedar menunaikan kewajiban sebagai umat muslim yaitu beribadah kepada Allah SWT.
***
Setelah melaksanakan sholat Ashar berjama'ah, Ia segera melangkahkan kaki untuk keluar dari dalam masjid. Pikiran yang semula dirasa kacau kini sudah cukup tenang. Ia segera memakai sepatu sebelum akhirnya beranjak untuk berjalan ke arah motor kesayangannya yang tergores karena insiden tadi pagi.
"Ya ampun, kenapa sih dimana-mana selalu ada orang itu? Beruntung sepertinya dia tidak melihatku," gumamnya yang tanpa sengaja matanya melihat seseorang yang abru saja keluar dari masjid.
Sosok itu adalah Farzan, ia tidak sengaja melihat Farzan yang sedang berjalan keluar dari masjid berbarengan dengan Reza yang notabennya adalah dosen di jurusannya juga. Melihat Farzan membuat Miru yang sudah merasa tenang jadi berpikir yang aneh-aneh lagi. Tapi, dari pada terus memikirkan Farzan, dirinya memilih untuk melajukan embali motornya untuk pulang ke rumah.
Seharian sudah ia melewati hal-hal yang tidak terduga dalam hidupnya. Ia mengawali pagi dengan sangat ceria, tapi tiba-tiba harus terjatuh dari motor dan itu di area kampus. Belum lagi orang yang menabraknya adalah dosennya sendiri dan bahkan ia sempat memarahi dosennya sendiri di khalayak ramai.
"Kacau kacau kacau pokoknya." Miru menepuk-nepuk tempat tidur berulang kali dengan wajah yang ia tutupi dengan bantal .
"Apa yang kacau? Anak umi dari pulang kuliah sampe makan malem terus sekarang masih uring-uringan mukanya, kenapa?" tanya Arsyila yang tiba-tiba datang dari arah pintu kamar putrinya.
"Loh umi dari kapan di situ? Nggak apa-apa umi, cuma lagi kacau aja pikirannya karena hari pertama kuliah sudah banyak tugas," alibinya pada Arsyila.
"Dari kamu teriak-teriak bilang kacau. Umi ke sini cuma mau kasih ponsel kamu yang ketinggalan di meja dapur. Ponsel kamu dari tadi bunyi terus sepertinya ada notif masuk." Arsyila duduk di sebelah Miru memberikan ponsel milik putrinya.
Arsyila adalah wanita yang penuh perhatian. Ia tidak suka memeriksa ponsel anak-anaknya dan juga suaminya. Kepercayaan Arsyila pada anak dan suaminya sangat besar. Kepercayaan ini yang suka membuat Ansel dan Miru terkadang sering menitipkan ponsel dan bahkan sengaja meletakkannya di kamar Arsyila agar sesekali diperiksa. Tapi yang dilakukan mereka nihil, karena Arsyila akan mencari keberadaan mereka jika ponsel yang dititipkannya itu bordering.
"Ooohh paling juga notif pesan dari Meira atau Anin, biarin ajalah mi. Umi aja yang pegang nih ponsel Miru," ucap Miru dan memberikan kembali ponselnya.
"Kamu simpan saja ponselnya. Oh iya kamu belum cerita ke umi gimana hari pertama kamu di kampus?" tanyanya seraya mengusap lembut puncak putrinya.
"Alhamdulillah lancar, Mi. Oh iya Abi masih belum pulang ya?" tanya Miru.
"Belum, mungkin sebentar lagi. Kenapa? Kamu sudah merindukan Abimu?" Arsyila mulai meledek putri sulungnya jika sudah menanyakan keberadaan Ansel.
"Iiihh apanya yang rindu? Umi cemburu ya sama Miru?" ledek Miru pada uminya.
"Masa cemburu sama anak sendiri, dasar kamu ini. Umi sangat bahagia punya kamu dan Fahri, kalian adalah harta berharga buat umi dan Abi." Arsyila tersipu dan memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang.
Miru membalas pelukan Arsyila dengan antusias. Mengingat setiap cerita Abinya yang mengatakan bahwa uminya telah berjuang melahirkan dirinya bahkan mengorbankan diri agar ia bisa lahir ke dunia. Ia ingat sekali bahwa uminya adalah wanita hebat yang rela mengorbankan apapun demi anak dan suaminya. Ia merasa sangat bersyukur lahir dari Rahim wanita di hadapannya. Ia juga sangat bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan untuknya merasakan kebahagian seperti sekarang ini.
"Ekhem!"
__________________________
Jika dalam urutan abjad x dan y itu berdampingan
Namun, dalam matematika keduanya berada di garis yang berpotonganYang satunya vertical dan lainnya horizontal
Seperti itulah aku dan kamu yang sudah pasti tidak akan bisa bersama_______________________
***
Bye bye next part 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Time & Distance
SpiritualSequel "Turkish Airline-67" Baca dulu ya, kalo suka masukkan ke list bacaan kalian dan jangan lupa vote + komen 😁 Kamu itu bagaikan angan semu yang sulit untukku gapai Kamu itu bagai bulan yang jauh untuk ku raih Aku hanya bisa diam dan tidak ta...