Sungguh, aku mencintaimu tanpa syarat. Bukan hanya untuk sehidup semati, namun untuk sehidup sesyurga.
_Farzan_
🍁🍁🍁
Dua hari mereka menghabiskan waktu bersama di apartemen Farzan, saling berbicara banyak hal antara satu sama lain. Kebiasaan-kebiasaan Farzan ataupun Miru dalam kesehariannya. Kini mereka berdua menikmati suasana negara Eropa ini dengan kebahagiaan yang memuncak. Berjalan berdua sebagai pasangan suami istri, tidak lagi ragu untuk saling menggenggam tangan satu sama lain.
Baik Farzan ataupun Miru bahkan baru mengerti bahwa bersama dalam ikatan pernikahan sebahgia ini. Tapi mereka berdua yakin, bahwa bersamanya mereka saat ini sudah menjadi ketetapan Allah SWT. Kebersamaan mereka saat ini bukan sesuatu yang terlambat namun yang paling tepat.
Beberapa hari berlalu dimana kedua sejoli ini menjalani hidup sebagai pasangan suami istri. Miru mulai merasa nyaman dengan kehadiran Farzan di hidupnya dan begitu pun sebaliknya. Kini sudah tiba waktunya mereka harus berjauhan untuk sementara.
“Assalamu’alaikum, selamat pagi sayangku,” ucap Farzan memasuki rumahnya yang baru saja kembali dari jogging.
“Wa’alaikumsalam, bang. Abang udah selesai jogingnya? Mau langsung sarapan atau mau mandi dulu?” tanya Miru yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan.
“Abang mandi dulu deh, gerah soalnya. Oh iya, jadwal keberangkatanmu jam berapa dek?”
“Jam 4 sore sih bang, adek lupa bilang nanti Abi dan yang lainnya jemput ke sini jadi kita gak perlu ke rumah Opa. Soalnya uncle yang menawarkan diri untuk mengantar kita semua ke bandara.”
“Yah, berarti akan terasa sepi deh nanti malem sampai beberapa minggu kedepannya. Beberapa hari sama kamu, rasanya berat melepas kamu pulang ke Indonesia.”
“Yaudah ayuk abang pulang bareng adek sekarang aja gimana?” ledek Miru ke suaminya.“Gimana kalau adek aja yang tinggal di sini temenin abang menyelesaikan beberarapa berkas kepulangan abang yang tinggal satu bulan lagi?”
“Maunya adek begitu, tapi adek harus balik ke sekolah buat mengajar karena belum ada guru pengganti. Lagian nikahnya dadakan, abang main iya aja ke abi buat nikahin adek dalam waktu dua hari baru ketemu.”
“Yah gimana lagi, nanti kalau abang nggak jawab iya terus abi jodohin kamu ke orang lain bagaimana? Terus abang sama siapa? Kamu tega abang nggak nikah-nikah nantinya kalau bukan sama adek?”
“Pfff…, abang ini lucu. Kalau abi mau jodohin adek dengan orang lain pastinya dari dulu. Abang nggak tau ya, kalau yang buat adek yakin terima lamaran abang dalam waktu cepat itu siapa?”
“Siapa? Ali atau Opa?”
“Abi! Abi yang meyakinkan adek kalau abang itu orang yang sangat baik. Bahkan Abi juga yang kasih tau ke adek kalau abang rela nungguin adek di rumah sakit dan mukulin Alzam sampai tidak bisa bangun lagi sampai di gelandang polisi.”
“Serius Abi kamu bilang begitu? Terus ada lagi nggak yang Abi bilang ke kamu?”
Miru menganggukan kepalanya dan melanjutkan ceritanya soal dimana Farzan mengatakan bahwa ia adalah calon suami Miru di hadapan Ansel dan Haris.
“Astaghfirullah, kenapa Abi harus cerita bagian itu sih? Abang malu tau. Abang keceplosan dan merasa kesal dengan orang yang sudah berani sentuh kamu.” Farzan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Miru tersenyum melihat Farzan yang bertingkag seperti itu. “Abang nggak perlu malu. Adek justru mau terima kasih karena Abang sudah sangat mencintai dan menjaga adek dengan cara yang Abang bisa.” Miru menyingkirkan kedua tangan Farzan yang menutupi wajah.
“Adek nggak marah karena abang sudah ngaku-ngaku sebagai calon suami adek waktu itu?”
Miru menggelengkan kepalanya dan tersenyum dengan deretan gigi yang terlihat.
“Beneran?”
“Iya Abang tersayangnya adek.”
“Boleh peluk?”
“Nggak mau! Abang belum mandi.” Ledek Miru dan menjauhkan dirinya dari Farzan.
“Mau peluk loh dek.” Farzan mengejar Miru yang mulai menjauh dan terus meledek istrinya.
Awal kehidupan yang dijalani akibat buah kesabaran dari keduanya. Mencintai dengan cara menjaga satu sama lain sampai tibanya waktu Allah subhanawata’ala mempersatukan. Cinta yang butuh perjuangan dan rasa sabar yang begitu besar.
Kini keduanya bersama dengan seluruh keluarga berada di Bandara Internasional di Belanda. Farzan terus menggenggam tangan Miru dengan erat. Baru beberapa hari ia melewati waktu-waktu kebersamaan dengan wanita halalnya, namun kini harus terpisah sementara waktu.
Ansel yang melihat menantunya seperti tidak rela melepas putrinya untuk pulang ke Indonesia pun tersenyum. Ia teringat dulu pernah seperti itu ke Arsyila—istrinya. Ansel bersyukur karena putri yang ia besarkan dengan penuh cinta kini mendapat cinta yang begitu besar dari suaminya. Ia berdoa semoga rumah tangga putrinya baik-baik saja.
“Ayo sayang, sudah waktunya kita berangkat.” Ajak Ansel ke putrinya.
“Iya, Bi. Abi jalan duluan saja, Miru mau bilang sesuatu ke Abang.”
“Yaudah, Abi sama Umi menunggu di sana. Jangan lama-lam, nanti kita tertinggal pesawat!” seru Ansel ke putrinya.
“Farzan, kami semua pamit ya. jaga diri kamu baik-baik dan segera pulang untuk resepsi pernikahan kalian.” Lanjut Ansel ke menantunya.
“Siap Bi, kalian semua juga hati-hati. Segera kabari Farzan jika sudah sampai di Indonesia.” Farzan melepaskan genggamannya pada Miru dan menyalami semua keluarga Miru yang kini menjadi keluarganya juga.
Ansel dan keluarganya pun berjalan lebih dulu. Opa dan pamannya berjalan keluar bandara lebih dulu. Kini hanya mereka berdua. Miru melihat Farzan dan memeluknya dengan erat.
“Terima kasih ya, Abang sudah begitu mencintai Adek. Semoga Allah terus menanamkan cinta itu di hati Abang buat adek untuk seterusnya. Bukan untuk sehidup semati, tapi sehidup sesurga.”
“Sama-sama, dek. Abang akan terus merawat cinta adek di hati abang. Sungguh, Abang mencintaimu tanpa syarat dan akan selalu mencintaimu. Bukan hanya untuk sehidup semati, namun untuk sehidup sesurga.”
“Adek tunggu kedatangan Abang sesegera mungkin di Indonesia.” Miru melepas pelukannya secara perlahan dan mulai berjalan mundur seraya melambaikan tangannya ke Farzan.
“Tunggu Abang. Abang janji akan sesegera mungkin menemui adek di Indonesia. Hati-hati tuan putri cantikku!”
“Terima kasih pangeranku. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam” balas Farzan tersenyum dan tidak sedikitpun matanya berpaling dari sang istri sampai siluet bayangannya pun tidak terlihat ditelan keramaian.
Farzan menghela napasnya dengan berat. Baru beberapa hari kehidupannya terasa ramai dengan kehadiran Miru. Suara tawa dan celotehan Miru mengisi hari-harinya dengan sangat indah. Bukan hanya itu saja, lantunan indah ayat Al-Qur’an yang menggema di kamarnya setiap ba’da subuh kini tidak ada lagi, hanya dirinya sendiri. Ia jadi ingin segera membereskan semua berkasnya dengan sesegera mungkin dan terbang ke Indonesia secepatnya. Baru beberapa menit saja rasanya ia sudah sangat rindu.
"Aku akan secepatnya pulang, tunggu aku, istri Sholihahku." Monolog Farzan dengan lebih bersemangat.
"Long Time & Distance"

KAMU SEDANG MEMBACA
Long Time & Distance
SpirituellesSequel "Turkish Airline-67" Baca dulu ya, kalo suka masukkan ke list bacaan kalian dan jangan lupa vote + komen 😁 Kamu itu bagaikan angan semu yang sulit untukku gapai Kamu itu bagai bulan yang jauh untuk ku raih Aku hanya bisa diam dan tidak ta...