27. Hari Yang Buruk

47 14 1
                                    

Miru terus tersenyum sepanjang harinya mengingat pesan yang dikirimkan Abinya pagi ini. ia tidak menyangka bahwa liburan kali ini akan ke Belanda menjenguk opanya. Ia sudah sangat rindu sekali dengan opa John. Liburan dua tahun lalu ia ke Turki mengunjungi berbagai tempat dimana abi dan uminya bertemu dan berkunjung bersama dengan Neara dan Anggi.

Ia yang tengah asik membalas pesan dari abinya sedari tadi, dikagetkan dengan suara derap kaki yang mendekat ke arahnya. Sontak Miru menoleh dan segera ia menundukkan wajahnya setelah tau siapa yang datang menghampirinya.

"Assalamu'alaikum Ustadzah Hanin, bolehkah saya duduk di sini?" tanya seorang laki-laki yang meminta izin untuk duduk di kursi yang ada di hadapan Miru.

Miru tengah duduk di ruang UKS yang saat ini tidak ada siapapun selain dirinya. Temanya Lita selaku penjaga UKS menitipkan ruangan kepadanya sebentar karena mendapat panggilan kepala sekolah. Ketika ada jam kosong mengajar, Miru sering sekali berada di UKS untuk mengobrol bersama Lita. Ia dan Lita sudah bersahabat sejak ia menjadi seorang guru di sini dan mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama.

"Mohon maaf saya tidak memberikan izin, dan maaf sebelumnya bisakah anda keluar dari ruangan ini? rasanya tidak baik jika anda berada di sini bersama saya," ucap Miru masih dalam keadaan menunduk.

"Saya hanya ingin berbicara sebentar mengenai proposal yang saya kirimkan ke Pak Hariz minggu lalu."

"Maaf Ustadz Faiz, saya pertegas sekali lagi. Bisakan anda meninggalkan ruangan ini? jika ada hal yang ingin ditanyakan silahkan anda langsung menemui pak Hariz!" tegasnya.

"Saya tidak bisa meninggalkan ruangan ini sebelum saya memperjelas soal proposal ta'aruf yang saya kirimkan ke Ustadzah. Saya rasa Ustadzah Hanin sudah menerima proposal tersebut dan saya ingin tau kelanjutannya bagaimana?"

"Ustadz Faiz! Apakah anda tau adab-adab dalam berta'aruf? Apakah anda juga tau adab menemui wanita yang bukan mahromnya?" tegas Miru.

"Ya saya tau, tapi rasa suka saya ke ustadzah membuat saya melangkahi semua adab dan aturan itu."

"Astaghfirullahadzim..."

"Faiz! Apakah kamu tuli? Ustadzah Hanin sudah bicara berapa kali untuk bisa membuatmu pergi? Bukankah harusnya kamu tau aturan cara berbicara dengan lawan jenis? Jangan melewati batasan-batasan yang tidak seharusnya Faiz!" sarkas Lita memotong pembicaraan Miru dan Faiz.

Faiz terdiam dan pergi meninggalkan mereka. Lita bisa melihat jelas rasa cemas yang tergambar di wajah sahabatnya. Lita sudah tau semua yang terjadi dengan Miru dan ia dititipkan amanah untuk tidak jauh dari Miru selama berada di Sekolahan oleh Anggi.

Lita memeluk Miru dan menenangkannya, ia terus berkata kepada Miru bahwa semuanya pasti baik-baik saja. Ia tau soal proposal yang Faiz kirimkan ke temannya ini. Miru sudah cerita bahwa ia mendapatkan proposal ta'aruf lagi dari Bundanya.

"Ta, tolong jangan cerita ini ke bunda dan ayah aku ya. aku nggak mau sampai mereka marah dan karir Faiz terancam."

"Tapi dia sudah keterlaluan Nin," balas Lita.

"Aku nggak apa-apa kok, mungkin dia hanya khilaf atau memang butuh jawaban segera. Aku akan coba cari alasan soal ini. Sepertinya cara Allah menunjukkan jalan itu memang unik, dan aku rasa ini petunjuk dari Allah untuk aku tidak meneruskannya sebelum memulai apapun," jelas Miru ke Lita dengan terus tersenyum.

"Baiklah, Pokoknya kalau ada apapun cerita ke aku ya Nin. InsyaAllah aku akan selalu ada di samping kamu."

"Terima kasih banyak ya Ta, terkadang kamu ngingetin aku dengan sahabat aku yang di Jogja yakni Anin. Dia sama persis kaya kamu, kapan-kapan kalau kamu ikut aku ke Jogja akan aku kenalin ke sahabat-sahabat aku di sana."

"Sama-sama, insyaAllah ya. Mungkin aja aku ke Jogja pas kamu nikah dan aku punya firasat akan secepatnya ke Jogja."

"His kamu ini, Ta."

Lita dan Anggi terus berbincang dan bercanda melupakan kejadian soal yang tadi.

***

Seharian ini meskipun ada kejadian yang kurang mengenakkan, Miru sudah merasa tenang dan tidak terlalu cemas lagi. Miru sebenarnya sudah mulai bisa mengendalikan dirinya sejak setahun ini. Memang semuany tidak mudah, namun mau sampai kapan? Bukahkah ia harus melanjutkan hidupnya sebaik mungkin? Bukahkah dirinya harus bersyukur atas setiap kesempatan waktu yang sudah Allah berikan untuknya?

Gadis ayu ini terus bersenandung di tengah menikmati jalanan Jakarta yang sudah sedikit demi sedikit memadat karena banyak orang yang sedang dala perjalanan pulang. Miru berkendara dengan terus bersendung. Ia bahagia karena akan segera pergi berlibur ke Belanda. Sebenarnya ia memiliki tujuan lain ke sana, dia sudah merencanakannya sejak lama tapi semoga saja kali ini abinya memberikannya izin.

"Assalamu'alaikum, Bunda, Miru pulang!" ia melangkah cepat memasuki rumah.

"Wa'alaikumsalam, Miru," tanpa di duga tiba-tiba Anggi menyambut Miru dengan pelukan.

Miru yang sedari tadi tersenyum merasa bingung karena melihat bundanya yang tidak biasa. Begitu juga dengan Hariz yang baru saja keluar dari dalam rumah.

"Ayah, Bunda Anggi kenapa?" tanyannya dengan menggerakkan bibir tanpa suara ke Hariz.

Hariz hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum ke Miru.

"Maafin Bunda ya sayang, harusnya bunda hati-hati."

"Bun? Ada apa sebenarnya? Kenapa bunda terlihat sedih?" tanyanya yang sudah tidak sabar.

"Maaf soal kami yang ceroboh menerima proposal ta'aruf. Bunda sama ayah sudah tau apa yang hari ini terjadi."

"Bagaimana bunda bisa tau? Jangan-jangan Lita cerita ke Bunda ya?"

"Bukan Lita, ada yang melapor ke Bunda sama Ayah ketika orang tersebut tidak sengaja melewati UKS,"

"Hmmm, sebenarnya Miru baik-baik saja bun, yah. Tolong maafin ustadz Faiz ya, insyaAllah dia orang baik, mungkin dia hanya khilaf saja." Jelas Miru menenangkan orang tua angkatnya.

Hariz mendekat dan mengusap kepala Miru, Ia sudah menganggap Miru seperti putri kandungnya sendiri. ia tidak tau harus apa jika kejadian lima tahun lalu terjadi lagi, mungkin ia akan menjadi gila dan menghabisi semua orang yang berbuat jahat pada putrinya ini.

"Ayah tau kok, mungkin ayah hanya akan memberinya teguran saja nanti soal hal ini di luar pekerjaan. Oh iya sudah terima pesan dari Abimu?"

"Alhamdulillah sudah, Ayah sama Bunda ikut juga 'kan?"

"Oh Pasti, tapi Ali tidak bisa ikut karena ia harus KOAS. Oh iya kira-kira mau main kemana nanti?"

"Kemana ya? nanti deh setelah di sana baru Miru akan kasih tau kalian. Ya sudah Miru masuk dulu ya yah, bun." Miru melangkah pergi menuju kamarnya.

Miru memang berpikir ingin ke tempat kakeknya di Belanda sekaligus mencari kampus yang bagus di sana. Ia berniat melanjutkan pendidikannya di sana, ia sudah pernah membahasnya dengan John-kakeknya sewaktu di telfon beberapa waktu lalu. John memang tidak keberatan, namun ia ragu jika abinya tidak memberikan izin. Bagaimana ya....?

~ Long Time & Distance~

Long Time & Distance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang