Sepanjang jalan pulang ia terus tersenyum, bahkan dirinya juga sedikit bersenandung. Ia kini berada di kamarnya sedang merapihkan barang-barang apa saja yang akan dibawa ke negri kincir angin tersebut. Farzan merasa lega karena keadaan gadisnya baik-baik saja.
"Ekhem!" seorang laki-laki paruh baya berdiri di depan pintu kamar memperhatikan putra satu-satunya yang tidak berhenti bersenandung setelah pulang tadi.
"Bapak? Sejak kapan bapak berdiri di situ?" tanya Farzan yang kikuk melihat bapaknya tersenyum menatapnya.
"Bapak berdiri sejak kamu bersenandung ria sambil tersenyum. Matamu itu loh berbinar sekali? Coba kasih tau bapak, hal apa yang buat anak bapak jadi sesenang ini?" tanyanya dengan logat jawa yang kental.
"Bukan apa-apa kok, pak. Farzan hanya sedang bahagia saja," jawabnya.
Mahadi melangkahkan kakinya mendekat ke arah Farzan. Ia menepuk-nepuk pelan pundak anak kesayangannya ini.
"Kamu tidak ingin membagi kebahagiaan kamu dengan bapak?" tanyanya dengan lembut.
"Begini pak, bapak ingat anaknya om Ansel yang kecelakaan itu?"
"Yo, jelas ingat dong. Oh iya bagaimana kondisinya saat ini? Kasihan gadis malang itu harus mengalami hal yang mengerikan. Padahal mereka semua adalah orang yang sangat baik."
"Alhamdulillah kondisinya baik, Pak. Bahkan Farzan tadi sempat kaget karena dia mengenali Farzan bukan orang lain. Dia juga sudah kembali seperti Miru yang Farzan kenal, gadis cuek tapi banyak bicara dan satu-satunya mahasiswi yang berani mengkritik Farzn dengan terang-terangan," jelasnya dengan ekspresi yang terlihat sangat jelas.
Farzan terus bercerita kepada Mahadi mengenai Miru. Cara bicara Farzan memperlihatkan dengan jelas apa yang ada dalam hatinya.
"Nak? Kamu ini menyukai putrinya pak Ansel ya?" tanya Mahadi pelan-pelan.
"Hah? Ma-maksud bapak? Farzan hanya bahagia saja pak karena kondisinya dia sudah baik-baik saja sekarang. Lapi pula, Farzan besok sudah berangkat ke Jakarta. Oh iya Pak, Ibu kemana?" tanya Farzan mengalihkan pembicaraan.
"Ibumu sedang di dapur menyiapkan makan malam untuk kita. Semoga apapun yang terbaik untukmu tidak lepas dari Ridho Allah Subhana wata'ala..." balas Mahadi yang sudah menebak bahwa putranya memiliki ketertarikan dengan Miru.
🍁🍁🍁
Ruangan tempat Miru di rawat kini terlihat ramai. Sebelum jam berkunjung habis, Ansel, Hariz, Anggi, Ali bahkan Fahri sudah berkumpul semua. Ketika Farzan pamit untuk pergi, Arsyila segera menelfon Ansel bahwa keadaan Miru membaik. Dia juga tidak lupa meminta psikiater yang menangani putrinya untuk memastikan bahwa Miru benar-benar sudah membaik. Semua orang turut bahagia karena Miru tidak lagi merasa takut ketika bertemu keluarganya terlebih ayahnya sendiri.
Meskipun semua sudah baik-baik saja, dokter menyarankan agar Miru tetap harus dijaga dengan baik. Ia harus dihindari dari hal-hal yang bisa memicu traumanya seperti hal yang berkaitan dengan kejadian yang di alaminya. Miru memang sudah dipastikan dapat keluar dari rumah sakit dua hari lagi, namun ia tetap harus rutin mendatangi psikiaternya sampai dirinya benar-benar sembuh total.
"Akhirnya putri cantik kita ini bisa mengenali kita semua sekarang...." ucap Hariz kepada mereka.
"Iya Riz, Alhamdulillah. Oh iya setelah pulang dari sini adakah yang ingin kamu minta dari Abi?" tanya Ansel pada putrinya.
"Hmmm... nggak ada, Bi. Oh iya buat Abi, Ayah, Fahri dan Ali, maafin Miru ya. Miru udah dengar semuanya dari Umi kalau ternyata Miru yang tidak ingin bertemu dengan kalian. Miru sendiri juga tidak tau kenapa jadi begini," jelasnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Ansel segera mendekat dan memeluk putri tercintanya. Ia sangat bersyukur karena putrinya tidak lagi merasa takut ketika dirinya mendekat. Mungkin ini bisa dibilang awal bagi Miru karena ketika ia dinyatakan benar-benar sembuh, Miru harus menghadiri persidangan sebagai saksi untuk kejahatan Alzam. Ansel mulai merasa cemas memikirkannya, tapi biarlah itu dibicarakan nanti setelah semuanya benar-benar bisa dikatakan membaik.
"Mas, tadi aku sudah bertemu dokter Olif dan beliau bilang kemunginan Miru bisa pulang tiga hari lagi. Dokter Olif ingin memastikan terlebih dahulu kalau Miru kita ini benar-benar sudah sehat," jelas Arsyila kepada Ansel.
"Alhamdulilah, Oh iya Opa kamu juga sudah nggak sabar loh untuk ketemu kamu sayang," ucap Ansel melepas pelukannya dan mengusap lembut pipi Miru.
"Aku udah lama nggak ketemu sama Opa, aku kangen banget. Bi, kita kapan-kapan liburan bareng yuk kemana gitu bareng semuanya. Aku ingin kita pergi bersama kalian, ayah, Bunda, Ali, Baba Zidan, Opa dan semuanya pokoknya. Boleh ya?" tanya Miru membujuk Ansel.
"Hmmm...., jika kamu nanti sudah benar-benar sembuh kita liburan bareng ya. Tapi yang pasti sih nunggu adek libur sekolah dulu," gurau Ansel melirik ke Fahri.
"Oh jelas dong, awas saja jika kalian berlibur tanpa aku." Gerutu Fahri yang kemudian dirangkul oleh Fariz.
"Maaf ya dek, kali ini kamu nggak diajak. Kamu sekolah aja yang rajin, biarkan kami semua berlibur," ledek Miru ke Fahri.
"Yeee, dasar kak Miru reseh. Untung aja aku sayang ya, pokoknya adek ikut dan adek akan minta jajan yang banyak ke kakak nanti pas liburan," ancam Fahri ke kakaknya.
"ya ya ya, terserah kamu aja deh."
Gurauan keluarga Atmadja terus berlanjut sampai jam besuk sudah habis dan mengharuskan mereka semua kembali ke rumah kecuali Miru dan Arsyila. Semua turut bahagia melihat Miru sudah kembali sehat dan bisa bercanda lagi.
Malam semakin larut, Arsyila sudah tidur namun tidak dengan Miru. Ia memandangi ponsel yang diberikan Abinya tadi sore. Abinya bilang ponselnya sudah hancur namun nomornya sudah dipindahkan ke ponsel baru yang saat ini ada di tangannya. Ponsel itu telah diaktifkan dan Ansel tidak pernah sedikitpun membuka pesan yang masuk di nomor putrinya. Ia hanya mengaktifkannya saja tanpa memeriksa apapun.
Miru membuka satu persatu pesan yang masuk di ponselnya. Pesan yang masuk rata-rata pesan dari teman-teman dan sahabatnya yang menanyakan keberadaannya. Tapi, tanpa diduga ada satu nama kontak yang mencuri perhatiannya.
Dosen Aneh : Assalamu'alaikum
Dosen Aneh : Hei, Mahasiswa bawel. Cepet sembuh ya dan jangan lama-lama sakitnya.
Dosen Aneh : Gimana kabar hari ini? Hari ini bu Citra nanyain kapan kamu akan bimbingan lagi ke teman-temanmu. Oh iya tadi ada mahasiswi yang sedikit genit ke saya tapi kali ini saya bersikap tegas.
Dosen Aneh : Dua bulan lagi ada seminar Internasional, saya harap kamu bisa ikut ya. Saya lihat riset kamu bagus untuk bahan seminar, kalau kamu butuh bantuan terjemah bahasa nanti akan saya bantu.
Dosen Aneh : Mahasiswa bawel, ayo dong sembuh. Semua teman-temanmu merindukan kamu.
Miru terus membaca satu persatu pesan yang di kirim oleh Farzan untuknnya. Tidak ada yang istimewa dari isi pesannya namun ternyata Farzan mengirim pesan setiap seminggu sekali terlihat dari tanggal pengirimannya. Kontak yang ia beri nama "Dosen Aneh" dimana itu adalah nomor ponsel Farzan. Ia tidak menyangka dosennya itu memang benar-benar aneh. Ia bersikap cuek, kadang menyebalkan, dan belum lagi suka bikin orang bingung kalau lagi komunikasi.
"Dasar dosen aneh, tapi dia besok berangkat. Kira-kira berapa lama dia di Belanda? Terus dia nanti akan bertemu dengan banyak mahasiswa dari berbagai Negara di sana. Aish Miru apa sih yang kamu pikirin?" Dirinya terus bermonolog sendiri dalam hati.
Pikiran Miru kini seakan kini tengah sibuk. Ia merasa hatinya saat ini terasa kosong seperti ada sesuatu yang akan pergi. Tapi pikirannya mulai jernih dan kini ia harus berfokus pada satu hal. Masa bodoh dengan hatinya, yang harusnya ia pikirkan saat ini adalah bagaimana ia harus sembuh dan kembali menjalani aktifitas lagi dengan sebaik-baiknya. Belum lagi banyak pesan masuk yang mengabari teman-temannya sudah pada sidang akhir sedangkan dirinya terjebak di rumah sakit.
"Oke Miru, Fighting! Kamu harus bisa sembuh dan kembali menjadi Miru yang seperti dulu lagi!" monolognya sebelum akhirnya ia meletakkan ponsel dan tidur.
🍁🍁🍁
~ Long Time & Distance ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Time & Distance
SpiritualSequel "Turkish Airline-67" Baca dulu ya, kalo suka masukkan ke list bacaan kalian dan jangan lupa vote + komen 😁 Kamu itu bagaikan angan semu yang sulit untukku gapai Kamu itu bagai bulan yang jauh untuk ku raih Aku hanya bisa diam dan tidak ta...