15. Terima Kasih

88 11 1
                                    

Ali yang mendengar teriakan Miru segera menginjak rem dan menatap tajam ke arah depan.

"Alhamdulillah gak nabrak!" ucapnya dengan jantung yang sudah berdetak kencang.

"Makanya kalau nyetir itu sambil ngobrol nggak masalah cuma jangan lupa fokus juga!" omel Miru pada adiknya ini.

"Kak, kamu ini lagi dapet ya? Marah-marah terus kerjaannya. Nih ya kak, jadi perempuan itu yang kalem, banyak senyum, terus anggun gitu. Ini anak perempuan ngedumel aja kerjaannya!" sarkas Ali memojokkkan Miru.

"Sudah, lebih baik kita segera jalan lagi, kalau kalian terus bertengkar kapan akan sampainya?" Farzan pun menengahi.

Ali menatap Miru dengan ejekan melalui spion depan kemudi. Beda dengan Ali, Miru malah memberi tatapan tajam serta ancaman ke adiknya. Ia juga tidak lupa memberi kode akan melaporkannya ke Haris karena sudah menyetir dengan sembrono.

Mobil terus melaju membawa ketiganya menuju kediaman Atmadja. Miru mengerutkan dahinya merasa bingung. Harusnya saat ini mereka ke rumah Farzan, kenapa malah pulang?

"Kok kita malah ke rumah?" Miru mencoba bertanya karena penasaran.

"Nganter kakak dulu pulang, kasian orang rumah pada nunggu kakak semua tuh karena pergi tiba-tiba. Pak Farzan biar menjadi urusan aku," jawab Ali memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah Miru.

"His, dasar nyebelin. Oh iya pastikan kamu mengantar orang ini sampai ke rumahnya. Soalnya orang ini lagi galau berat, khawatir pulangnya malah ke alam yang beda." Miru melirik ke arah Farzan sebelum akhirnya turun dari mobil dan meninggalkan keduanya.

Ali yang sangat kenal dengan sifat kakaknya ini hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Dia berpikir kapan kakaknya yang satu ini dewasa ya? Melihat wajahnya yang suka berubah-ubah ekspresi dalam waktu sekejap saja sudah bikin semua orang rumah uring-uringan. Ali segera mengambil ponselnya dan mengabari Fahri bahwa Miru sudah diantar ke rumah dan dia akan lanjut mengantar Farzan. Dia sengaja mengantar Miru lebih dulu karena ada yang ingin ia bicaran dengan Farzan.

🍁🍁🍁

Miru memasuki rumah dengan perasaan yang gugup. Bagaimana tidak? Semua orang duduk menunggu dirinya dan kini mereka menatap ke arah perempuan berusia 20 tahun itu dengan ekspresi datar. Miru menunduk dan sesekali ia mencoba memberi kedipin mata ke arah Abi dan uminya berharap kedua orang tuanya tidak marah.

"Ekhem! Gadis kecil kita ini ternyata sudah besar ya?" Hariz tiba-tiba membuka suara.

"Yah, begitulah Riz. Anak kamu ini kadang terlihat masih kecil tapi ternyata sudah besar saja. Kemarin abis buat ulah pulang malam tanpa ngabarin orang rumah dan sekarang pergi mengejar pengantin pria yang batal menikah," balas Ansel menganggapi ucapan Hariz.

Mendengar ucapan ayah dan abinya membuat Miru menunduk dan tidak berani menatap kedua pria yang kini duduk bersedekap menatap ke arah dirinya.

"Kalian berdua ini, lihatlah gadis kecil kita sudah gemetar ketakutan." Anggi bangkit dari kursi dan menghampiri Miru.

"Kalau sampai anak aku nangis, kalian dilarang menyentuh makanan di meja makan!" kini giliran Arsyila berdiri di samping putirnya dan mengusap kepala Miru.

Hariz dan Ansel melirik satu sama lain sebelum akhirnya tertawa bersamaan dan disusul kedua wanita berhijab yang sudah berdiri di samping Miru sejak tadi. Miru mengangkat kepala dan merasa bingung. Ia mengerutkan dahinya dengan pikiran yang penuh dengan dengan pertanyaan. Kemana amarah mereka sebelumnya? Kenapa abi dan ayahnya tertawa?

"Hei, putri raja jangan sering mengerutkan dahi seperti itu dong. Nanti cantik kamu hilang. Abi nggak marah kok, abi hanya sedikit terkejut tiba-tiba kamu mengejar Farzan." Tangan Ansel menangkup wajah putrinya seraya memberi tatapan kasih sayang.

Long Time & Distance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang