Miru menunduk menatap kedua sepatunya dengan begitu menyedihkan. Tidak tau mengapa ia selalu saja berbuat sembrono akhir-akhir ini. Jika waktu bisa di putar kembali, mungkin dirinya lebih baik memilih untuk tidak berkuliah di kampus ini.
"Apa kamu saat ini sedang berbicara dengan sepatumu?" tanya Fazan yang berdiri dengan jarak satu meter darinya.
"Maaf, Pak. Saya sudah lancang dan lagi sudah begitu berani meneriaki Bapak. Saya benar-benar minta maaf," balasnya dengan menegakkan kepala, tapi masih tidak berani menatap laki-laki di hadapannya.
"Kenapa kamu minta maaf? Justru saya ingin berterima kasih. Terima kasih karena kamu sudah menolong saya tadi dari ketidaknyamanan saya berhadapan dengan mahasiswi."
"Jika memang anda tidak merasa nyaman kenapa anda tidak menghindar dan bersikap tegas?" tanya Miru secara hati-hati.
"Saya sudah mencoba bersikap tegas, posisi saya sebagai dosen muda di kampus ini bukanlah hal mudah. Sekali lagi saya berterima kasih dan sepertinya sekarang sudah saatnya kamu masuk kelas karena sekarang sudah menujukkan pukul delapan pagi artinya perkuliahan pertama akan segera dimulai." Dia tersenyum dan satu tangannya ke dalam saku sedangkan tangan lainnya memberikan kode bahwa sudah menunjukkan pukul delapan pagi.
"Astaghfirullahadzim? Artinya saya sudah terlambat masuk kelas. Kalau begitu saya permisi pak, untuk yang tadi sama-sama, lain kali bersikap lebih tegas siapapun itu." Miru membulatkan kedua matanya dan aku segera berlari meninggalkan Farzan sembari memberi nasihat kecil untuknya.
"Gadis yang berani" batin Farzan yang masih berdiri memperhatikan Miru berlari kecil meninggalkan dirinya.
Miru terus saja merasa sebal karena harus berurusan lagi dengan Farzan. Ia tidak mengerti kenap Farzan tidak bersikap tegas pada mahasiswi yang centil. Lagi pula dia adalah dosen dan kalau ia bersikap tegas itu hal yang seharusnya kan?
Energi dan pikirannya benar-benar sudah terkuras hanya karena orang seperti Farzan. Ia mencoba membuang semua hal yang berkaitan dengan Farzan dari pikirannya dan segera berlari menuju ruang kelas. Dirinya sangat bersyukur karena dosen yang mengajar pagi ini datang terlambat dan baru akan tiba sepuluh menit lagi.
***
Perkuliahan hari ini berjalan cukup melelahkan, tiga mata kuliah yang hanya terjeda lima belas menit saja per mata kuliahnya cukup menguras energi yang super ekstra. Kini Miru duduk di kantin ditemani Arnaf, Putra dan Jia. Mereka berempat mampir ke kantin jurusan mengisi bahan bakar dalam tubuh yang sudah terkuras, lebih tepatnya menjernihkan otak yang seharian berkutat pada rumus-rumus matematika.
Tau dong ya gimana pusingnya rumus matematika, jika waktu sekolah kita hanya tinggal menggunakan rumus seperti luas segitiga, persegi dan lainnya, maka di perkuliahan lebih rumit dari ketika di sekolah. Bahkan Miru merasa dirinya salah ambil jurusan, bagaimana tidak? Matematika yang dihadapinya sekarang bukan lagi masukin angka, melainkan menurunkan rumus. Bahkan mereka harus mencari tau kenapa rumus persegi panjang itu panjang kali lebar? Kenapa bukan setengah panjang kali lebar atau sebagainya. Mereka harus membuktikan bahwa rumus itu benar.
"Kok aku ngerasa salah ambil jurusan ya?" ucap Arnaf secara tiba-tiba seolah sedang bertanya pada dirinya sendiri.
"Jangankan kamu, aku juga rasanya begitu tau," Miru menimpalinya dengan hembusan nafas yang gusar.
"Apa kita pindah jurusan aja semester depan?" Saran Putra secara tiba-tiba.
"Hust, kalian ini. Jalani aja dulu, sekarang kalian berpikirnya begitu, tapi nantinya paling berat pisah dari matematika."
Ketiga sontak menoleh mendengar uacapan Jia, Berat? Hah bagaimana mungkin kami berat pisah dari matematika, berdekatan dengan matematika sehari saja sudah bikin mau pingsan rasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Time & Distance
EspiritualSequel "Turkish Airline-67" Baca dulu ya, kalo suka masukkan ke list bacaan kalian dan jangan lupa vote + komen 😁 Kamu itu bagaikan angan semu yang sulit untukku gapai Kamu itu bagai bulan yang jauh untuk ku raih Aku hanya bisa diam dan tidak ta...