"Assalamu'alaikum semuanya..." ucap Ansel memasuki masjid bersama dengan keluarganya dan disambut oleh keluarga pengantin serta seluruh orang yang ada.
"Wa'alaikumsalam, Alhamdulillah Pak Ansel menyempatkan waktunya untuk hadir bersama keluarga. Mari Pak Ansel beserta anak dan istrinya ke depan saja duduknya sudah di siapkan." Denia menyambut keluarga Ansel dengan begitu hangat.
Berbeda dengan para orang tua, Miru tanpa sengaja beradu tatap dengan laki-laki yang kini sudah lengkap dengan pakaian akad pernikahan. Keduanya menatap dengan rasa saling tidak percaya pada kondisi yang ada.
"Miru?" gumamnya pelan dengan sejuta pertanyaan seraya melirik Reza dengan pertanyaan yang sama.
Bagaimana mungkin kini aku menyaksikan pernikahannya di depan mataku sendiri? kenapa Abi tidak bilang kalau teman yang dimaksud itu adalah orang tua dari pak Farzan? Ia terus bertanya dalam benaknya.
Farzan dan Miru yang sama-sama bingung dengan pemikirannya masing-masing, tiba-tiba di kejutkan dengan Denia yang memperkenalkan keluarga Ansel pada Farzan.
"Nak, perkenalkan ini Pak Ansel beserta anak dan istrinya. Beliau ini orang yang sangat berjasa buat keluarga kita terutama tantemu dan untuk Pak Ansel perkenalkan juga ini anak saya yang akan menikah hari ini, yaitu Farzan," Denia dengan senyum yang begitu tulus memperkenalkan Ansel.
"Ibumu ini terlalu berlebihan, by the way Barakallah ya. Melihatmu ini mengingatkan saya waktu masih muda dulu, benar-benar keliatan gagah. Oh iya kenalkan ini istri dan anak-anak saya," Ansel menyalami tangan Farzan sembari mengucapkan selamat untuk pernikahannya yang belum dimulai.
"Terima kasih banyak, Pak." Balas Farzan kemudian bergantian menyalami Fahri sebelum akhirnya menangkupkan kedua tangannya kehadapan Arsyila dan Miru.
"Masya Allah cantik banget anak kamu ini, udah gadis saja. Inget dia dulu suka berlari kesana kemari dengan pipi gembulnya." Denia memegang kedua pipi Miru dan Miru hanya membalasnya dengan senyuman.
"Sama 'kan cantiknya dengan istri saya? Siapa dulu Abi dan Uminya," ucap Ansel mengundang gelak tawa keluarga Wijaya yang mendengar penuturannya dan membenarkan bahwa istri dan putri dari Ansel ini begitu cantik.
Semua orang tertawa merasa bahagia. Berbeda dengan dua hati yang sama-sama patah karena harus menerima takdir yang sudah menjadi ketetapan-Nya. Miru terus bertanya dalam benaknya, kenapa semuanya terjadi begitu cepat? Kenapa rasanya belajar untuk melepas sesuatu yang bukan milik kita itu begitu sulit? Salahkah dirinya dengan perasaan yang datang tanpa permisi ke hatinya?
Miru bersama dengan keluarganya diminta untuk duduk di tempat yang telah disediakan secara khusus sebagai tamu istimewa keluarga wijaya. Ansel duduk bersamaan dengan para orang yang telah bersedia menjadi saksi dari pernikahan Farzan dan Inara. Waktu terus berjalan, keluarga mempelai laki-laki telah hadir dengan beberapa orang yang telah ada dari pihak mempelai wanita yang ada di Masjid. Namun, rombongan keluarga inti mempelai wanita belum juga nampak hadir.
"Pak, coba di telfon kira-kira sudah sampai dimana mereka?" pinta Denia pada suaminya yang merasa cemas karena sudah jamnya mereka harus akad.
"Saya udah telfon dari tadi dek, tapi belum juga di angkat. Kira-kira kenapa ya mereka terlambat begini?" jawab Mahadi selaku ayahanda dari Farzan.
Perasaan Farzan sudah tidak karuan, pikirannya melalang buana entah kemana. Begitu juga dengan Miru yang hanya menunduk dengan pemikiran rumitnya.
"Kita memang garis berpotongan yang tidak akan bisa bersatu, kamu x dan aku y. awalnya aku berpikir ketika kedudukan kita berada di titik pusat 0 maka kita akan bisa bersama, nyatanya sedikit lagi takdir akan membuatku semakin menjauh darimu," ucap Farzan dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Time & Distance
EspiritualSequel "Turkish Airline-67" Baca dulu ya, kalo suka masukkan ke list bacaan kalian dan jangan lupa vote + komen 😁 Kamu itu bagaikan angan semu yang sulit untukku gapai Kamu itu bagai bulan yang jauh untuk ku raih Aku hanya bisa diam dan tidak ta...