7. Keingintahuan Farzan

92 14 0
                                    

Hujan mengguyur seluruh kota pada sore hari ini. Seorang gadis tengah menunggu seorang pasien keluar dari ruang UGD dalam keadaan baik-baik saja. Miru terus saja melirik jam di tangannya dan perasaannya mulai cemas karena pemeriksaannya dianggap cukup lama. Berkali-kali ia membuang napas dengan penuh tekanan. Ia benar-benar pusing akhir-akhir ini harus berhadapan dengan makhluk yang ada di dalam ruang pemeriksaan tersebut.

"Nak Miru, Abinya telepon. Gimana?" tanya Pak Bimo secara tiba-tiba menyodorkan ponsel miliknya ke arah Miru.

"Iya Pak, makasih ya. Miru pinjem dulu handphonenya," jawab Miru mengambil ponsel yang dipegang pak Bimo.

Setelah mengambil ponsel tersebut, dirinya kini menarik napas dan membuangnya secara teratur sebelum menerima telepon yang diyakini akan menimbulkan kehebohan.

"Assalamu'alaikum, Abi."

[wa'alaikumsalam, ponsel kamu dimana? Terus sekarang kok di rumah sakit? Siapa yang sakit?]

"Ponsel Miru ketinggalan di mobil, Bi. Tadi nggak sengaja habis nabrak orang dan sekarang lagi nganterin orangnya ke rumah sakit," jelasnya yang akan menerima apa saja konsekuensinya.

[Astaghfirullahaldzim nak, kok bisa? Tapi kamu sama pak Bimo baik-baik saja 'kan?]

"Alhamdulillah, Miru sama Pak Bimo baik-baik saja, Bi."

[Ya sudah, abi ke sana sekarang.]

"Buat apa? Nggak usah, Miru kan baik-baik aja. Sebentar lagi Miru pulang kok." Ia mulai melembut agar abinya tidak khawatir.

[Abi takut ntar kalo orang yang kalian tabrak marah-marah dan nggak terima ke kalian, gimana? Abi mau ke sana pokoknya,]

"Abi udah ya, Miru bisa hadepin ini sendiri. Izinin Miru untuk bersikap tanggung jawab, oke? Sudah ya, Bi, Assalamu'alaikum!"

Belum sempat Ansel menjawab, Miru sudah lebih dulu mematikan telfon Abinya. Memang dirasa kurang sopan, tapi ia tidak mau jika Abinya sampai beneran datang dan membuat kehebohan. Yang terluka siapa tapi yang akan dikhawatirkan siapa?

"Pak, nanti biar Miru aja ya yang bilang ke Abi, Bapak istirahat aja pas udah sampai rumah ya," ucapnya seraya memberikan ponsel milik pak Bimo.

"Iya nak, terima kasih ya. Kamu ini persis seperti umi kamu." Balas Pak Bimo dengan tersenyum melihat Miru.

Miru hanya tersenyum dan tanpa ia sadari ada yang sedang memperhatikannya. Pria dengan beberapa plaster di wajah dan tangannya melihat senyum Miru yang jarang sekali terjadi. Senyum itu membuatnya lupa dengan luka-luka yang tersa ngilu di tubuhnya.

"Den, aden udah baik-baik aja?" tanya pak Bimo menyadari kehadiran Farzan depan pintu ruang pemeriksaan.

"Alhamdulillah baik-baik saja, Pak. Panggil saja saya Farzan, sekarang saya mau menebus resep obat ini," ucap Farzan berjalan perlahan.

"Sini, biar saya saja yang menebus obat ini di apotek. Anda tunggu di sini aja sama Pak Bimo dan segala administrasi biar saya yang urus." Miru mendekat dan mengambil kertas resep obat dari tangan Farzan.

"Tapi Miru,..."

"Husttt, udah nak, Miru itu keras kepala orangnya. Kita tunggu sini saja," ucap Pak Bimo memotong kalimat Farzan.

Farzan akhirnya menuruti perkataan pak Bimo untuk membiarkan Miru pergi menuju apotek yang ada di rumah sakit tersebut. Farzan memperhatikan Miru yang terlihat sangat jelas sikapnya sedang kacau. Pak Bimo pergi sebentar sebelum akhirnya datang kembali memberikan sebotol air mineral ke Farzan. Farzan yang tengah asik memperhatikan Miru tidak menyadari kapan pak Bimo pergi membeli air mineral.

Long Time & Distance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang