Hari itu semuanya berjalan dengan lancar. Miru berkunjung dan bertemu dengan anak-anak kampung baca dengan membawa banyak hadiah. Semua anggota kampung baca hadir tanpa terkecuali termasuk Alzam. Sebelumnya Anin sudah berpamitan pulang terlebih dulu karena dijemput oleh adiknya. Miru merasa aman untuk mengikuti acara sampai selesai karena ia hari ini pergi bersama pak Bimo.
Acara berjalan hingga jam 9 malam. Kampung baca ini terletak di daerah yang jauh dari perkotaan dan waktu tempuh menuju rumahnya bisa sampai satu setengah bahkan dua jam. Ia bersama dengan pak Bimo pulang bersama dan ia juga tidak lupa mengabari Arsyila bahwa ia pulang terlambat. Awalnya tidak ada masalah apapun, namun tiba-tiba mobilnya terasa tidak enak dan hal itu membuat pak Bimo turun untuk mengecek apa yang salah.
Tok tok
Pak Bimo mengetuk kaca mobil belakang untuk memberi tahu Miru bahwa ban mobil mereka bocor. Jalanan tempat mereka berada saat ini masih sangat jauh dari kota.
"Di bagasi mobil ada ban cadangan 'kan pak?" tanya Miru memastikan.
"Coba bapak cek dulu ya, nak Miru."
Pak Bimo membuka bagasi mobil dan ternyata nihil. Ia lupa bahwa ban cadangannya di tinggal sewaktu ia mengganti ban kemarin di rumah.
"Nggak ada nak ternyata. Bapak baru ingat kemarin itu baru ganti ban karena bannya bocor dan tidak bisa tambal. Tapi, kok bisa bocor ya yang ini?" Pak Bimo menggaruk kepala belakang dengan merasa bingung.
"Yah mungkin karena jalanannya juga rusak jadi bannya bocor deh, terus sekarang gimana? Mana nggak ada bengkel di deket sini dan jalanan juga sangat sepi."
Tin tin
Sebuah kendaraan beroda empat dengan lampu sorot yang mengarah ke Miru tiba-tiba berhenti. Ia kenal dengan sang pemilik dan pengendara mobil tersebut.
"Kenapa, Mir?" tanya Alzam turun dari mobil dan menghampiri Miru.
"Bannya bocor, kak. Tapi kami tidak bawa ban cadangan," jawab Miru dan diangguki setuju oleh pak Bimo.
"Saya akan cari bengkel di dekat sini, tapi saya khawatir jika harus meninggalkan nak Miru sendirian di jalan yang sepi ini dan Bu Arsyila juga pasti sedang menunggu nak Miru di rumah," jelas Pak Bimo kepada Alzam.
"InsyaAllah jalanan sini aman jika bapak ingin mencari bengkel, tapi untuk soal Miru biar saya antarkan pulang saja. Kasian ini juga sudah malam dan tante Arsyila pasti khawatir banget," Alzam mencoba menjelaskan dan minta agar Miru ikut dengannya.
"Boleh deh, udah nak Miru ikut dengan pak Alzam saja. Pak Alzam juga orang baik dan sering main ke rumah. insyaAllah aman, untuk urusan mobil serahkan saja ke Bapak," Pak Bimo mencoba membujuk Miru yang bingung harus bagaimana dengan kondisinya saat ini.
Memang sih, cuma ia merasa hatinya berat untuk ikut bersama Alzam. Tapi, ia mencoba berpikir ulang lagi bagaimana jika uminya khawatir dan menunggu dirinya untuk pulang. Ia mencoba membuka pintu belakang mobilnya dan mengambil tasnya. Ia mengecek hpnya yang ternyata sudah habis batrei. Ia menghela napas dan berpasrah . Kali ini dirinya hanya berdoa semoga semuanya baik-baik saja.
Ia berjalan mengikuti Alzam dan masuk ke dalam mobil setelah Alzam membukakan pintu untuknya. Selama dalam perjalanan, ia hanya diam. Tatapannya mengarah ke depan dengan hati yang tidak putus untuk terus berdzikir memohon perlindungan Robb-Nya. Tanpa dirasa akhirnya mobil melewati perbatasan kampung dan sudah memasuki kota yang masih ramai dengan hiruk pikuk malam.
Miru awalnya berpikir semua baik-baik saja, sampai dimana mobil yang dikendarai Alzam tidak mengarah ke jalan arah rumahnya.
"Kak, kakak lupa ya arah jalan rumah Miru? Harusnya kita lewat pengkolan jalan yang tadi?" tanya Miru masih berpikir positif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Time & Distance
SpiritualSequel "Turkish Airline-67" Baca dulu ya, kalo suka masukkan ke list bacaan kalian dan jangan lupa vote + komen 😁 Kamu itu bagaikan angan semu yang sulit untukku gapai Kamu itu bagai bulan yang jauh untuk ku raih Aku hanya bisa diam dan tidak ta...