5. Hanya Menolong

117 16 0
                                    

"Ekhem!"

Miru dan Arsyila menoleh ke sumber suara. Laki-laki dengan tubuh tegap memasang wajah yang terlihat tidak santai sedang berdiri di depan kamar. Ia memberi tatapan yang seperti menyimpan banyak pertanyaan.

"Abi? Abi sejak kapan ada di situ?" tanya Miru kepada pria yang ternyata adalah Ansel—abinya sendiri.

"Kamu dari kapan ada di situ, mas?" kini giliran Arsyila mengajukan pertanyaan kepada suaminya seraya berdiri dan menghampiri Ansel untuk menyaliminya.

"Dari sejak ibu dan anak berpelukan dan tidak mendengar suara salam sekaligus ketukan pintu dari depan. Aku bersyukur ada anak laki-laki yang tidak pernah lupa soal abinya kali ini." Ansel merangkul Fakhri yang muncul tiba-tiba dari balik punggungnya.

"Hayoloh umi, abi ngambek," ledek Miru mencoba menggoda kedua orang tuanya.

"Dasar anak ini, oh iya Miru? Motor kamu kok banyak goresan?" bukannya balik meledek seperti biasanya, kini Ansel bertanya dengan serius setelah melihat keadaan motor putrinya di garasi rumah.

Astaghfirullah! Aku lupa, gimana ini? Apa abi akan marah dan tidak akan membiarkan aku membawa sepeda motor lagi jika tau aku jatuh? Miru terus merutuki dirinya sendiri dalam hati.

"Miru?" Arsyila memegang putrinya yang kini terdiam.

"Iya Bi, maaf, tadi pagi Miru jatuh jadi banyak goresan di motornya," jawabnya menunduk.

"Apa?" sontak ayah dan adik memasang raut wajah khawatir.

"Kamu jatuh? Terus luka nggak? Lukanya parah nggak? Coba lihat sini, tuh kan tangannya banyak goresan juga. Ayok kita ke rumah sakit siapa tau ada luka dalam dan ...."

"Abi cukup, Miru baik-baik aja. Luka-luka ini hanya luka kecil dan bukan masalah besar. Abi percaya deh sama Miru." Ansel yang belum selesai bicara dipotong oleh putrinya yang tidak ingin abi dan uminya khawatir.

"Sayang, coba sini umi lihat lukanya." Arsyila mencoba menarik tangan putrinya secara perlahan.

"Abi, ini bisa di obatin dengan antiseptik dan nggak perlu sampai ke rumah sakit. Umi yakin Miru juga baik-baik aja, iya kan sayang?" lanjutnya menenangkan Ansel bahwa Miru tidak separah itu untuk dibawa ke rumah sakit.

"Tuh dengerin Bi."

"Siapa yang nabrak kamu sampe buat kamu jatuh? Abi akan datangi orang itu!" Ansel tetap tidak ingin mengalah begitu saja.

"Astaghfirullahaladzim, abiku tersayang. Aku baik-baik saja," Miru mencoba berbicara lembut meyakinkan Abinya yang cukup keras kepala.

Arsyila melihat perilaku suaminya hanya menggelengkan kepalanya saja, begitupun dengan Miru. Miru hanya bingung kenapa abinya sampai seprotektif itu. Sedari dirinya kecil, saat ia sedang belajar menaikin sepeda bersama Babanya yakni Zidan, ia sering terjatuh. Ansel yang melihat sedikit luka di lutut Miru kangsung menghentikannya dan tidak ingin Miru terluka lagi. Ketika ia memasukin sekolah menengah Atas, ia diam-diam belajar mengendari sepeda motor dari Babanya lagi. Saat ketahuan dan ia sempat terjatuh data belajar, Ansel sangat kebingungan bahkan bereaksi berlebihan.

"Sayang, kamu 'kan baru pulang kerja dan sekarang sudah malam, Biarkan Miru sama Fahri istirahat dan kamu juga segera bersih-bersih abis itu makan dan istirahat sama aku, yuk!" ucap Arsyila setelah selesai memastikan putrinya baik-baik saja.

Ansel mendengar perkataan istrinya hanya menghembuskan napas pasrah dan mengikuti Arsyila keluar dari kamar Miru.

Miru sangat senang jika uminya berhasil membujuk abinya. Abinya hanya akan luluh jika sudah dibujuk oleh istri tercintanya. Ia kagum dengan kedua orang tuanya terlebih lagi ia merasa iri melihat uminya begitu dicintai abinya. Ia berharap suatu saat ada laki-laki seperti sosok abinya yang begitu mencintai dirinya.

***

Miru berjalan gontai pagi ini, bukan karena tidak semangat untuk berangkat kuliah, tapi karena sudah seminggu lebih kunci motornya di sita setelah kejadian tak terduga itu. Ia berkali-kali menghela napas menuju meja makan.

"Kusutnya itu muka udah kaya sarung yang kucel belum dicuci dan belum disetrika, hahaha" ucap asal Fahri meledek sang kakak.

"Hei adik durhaka, awas aja ya kalau nanti ada kesulitan saat belajar matematika, jangan minta bantuan sama kakak cantik nan pintar ini!" balasnya membuang muka karena sedang dalam kondisi mood yang buruk.

Miru sangat tidak suka jika harus diantar supir cuma untuk pergi ke kampus saja. Menurutnya, kali ini Abinya sangat kekanak-kanakan hanya gara-gara beberpa goresan kecil sampe di sita segala kunci motornya. Bahkan sangat menyebalkannya ia hanya berdehem dan sarapan tanpa rasa bersalah pada putri kesayangannya.

"Umiiii...." rengekku ke umi yang saat ini duduk di hadapanku.

"Kenapa sayang?"

"Kunci motor Miru loh mi, Abi please balikin ya. Abi katanya sayang sama Miru masa nggak mau turutin kemauan Miru," ucap Miru berusaha memohon.

"Tidak untuk kali ini, sampai luka kamu bener-bener sembuh maka kamu akan terus di anter sama pak Bimo," tegas Ansel dan hal itu membuat Miru hanya pasrah.

Miru sarapan sedikit karena merasa tidak berselera dan segera segera berpamitan ke umi dan abinya untuk berangkat kuliah. Sebenarnya Miru sangat suka suka naik motor karena tidak makan waktu terlalu panjang dan lebih cepat sampai ke kampus. Menurutnya kali ini Abinya benar-benar tidak asik.

Ia terus saja menggerutu melampiaskan kekesalan hingga tanpa sadar kini sudah sampai depan kampus.

"Non Miru, ini seperti biasa turunnya sebelum gedung jurusan?" tanya pak Bimo yang terus mengemudikan mobilnya.

"Jangan panggil saya Non loh pak, panggil aja Miru. Iya pak turun tempat biasa saja," jawab Miru yang tidak suka jika Pak Bimo memanggilnya dengan kata non. Ia lebih suka dianggap seperti anak sendiri oleh Pak Bimo.

"Oke siap Nak Miru."

Tidak butuh waktu lama akhirnya ia sampai di dekat gedung jurusannya. Miru keluar dan melihat sekeliling kampus yang sudah sangat ramai meskipun masih pagi. Setelah berpamitan dengan supir Abinya, Matanya kali ini melihat pemandangan yang berada tidak jauh dari hadapannya. Pria dengan pakaian batik dipadukan dengan celana dasar hitam sedang memegang pena dan seperti sedang membubuhkan tanda tangan di atas kertas yang di sodorkan oleh dua orang mahasiswi. Lebih anehnya lagi, salah satu mahasiswi itu bahkan berdiri sangat dekat dan mencoba seperti ingin menempelkan tubuhnya ke arah sang pria.

Miru bisa melihatnya dengan jelas, pria itu merasa tidak nyaman dan melangkah sedikit mundur, tapi dasar mahasiswi itu tidak memiliki kepekaan. Miru mencoba melangkah ke arah dimana pria itu berada.

"Ekhem! Permisi pak, anda ada mata kuliah di kelas saya pagi ini dan semua mahasiswa sedang menunggu anda," ucap Miru memberanikan diri seraya memberikan kode dengan menaikkan sebelah alisnya.

"Ah iya, saya hampir lupa. Terima kasih karena sudah mengingatkan saya. Baik kalian semua bisa langsung berikan ke saya proposalnya jika jadwal seminarnya sudah keluar. Saya harus mengisi kuliah pagi ini. Mari!" jawabnya kemudian mengintrupsi dua mahasiswi itu untuk pergi.

Miru segera melangkah pergi meuju kelasnya tanpa menunggu respon laki-laki yang kini sudah terbebas dari mahasiswinya. Ia terus mendumel sendiri sambil melangkah kakinya dengan cepat.

Kelas apanya? Bahkan tidak ada mata kuliah beliau hari ini di kelasku. Bisa-bisanya aku berbicara sembarangan pada dosen. Lama-lama aku bisa makin stress jika begini terus. Aku hanya berniat menolongnya saja karena melihat ekspresinya yang tidak nyaman saat bersama kedua mahasiswi tadi.

"Miru tunggu!" teriak seseorang menarik tas ranselnya.

"Astaghfirullah, ada apa sih masih pagi main tarik tas orang aja!" jawab merasa kesal dan segera menoleh.

Moodnya memang kurang baik akhir-akhir dan hal itu berpengaruh bagi aktifitasnya sehari-hari.

Astaghfirullah mulut ini! Miru lagi-lagi kamu ini kenapa sih? Lagi-lagi dirinya terus mengomel sendiri dalam hati.

***
Assalamualaikum
Maaf ya, baru bisa up soalnya kesehatan lagi menurun banget 🥲

Buat kalian, harus ekstra menjaga kesehatan ya soalnya musim orang sakit nih ....


Long Time & Distance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang