30. Kebenaran

60 14 2
                                    

Terkadang apa yang kita anggap tidak mungkin dan sangat mustahil, justru bagi Allah adalah hal yang sangat mudah jika kita sebagai hamba memintanya dengan kesungguhan. Pria dengan kepasrahan dirinya kini sedang mengangkat kedua tangannya diatas sejadah penuh kekhusyukan. Ia dengan kesungguhan meminta petunjuk mengenai hal apa yang harus ia lakukan. Apakah sudah waktunya bagi dia mengkhitbah perempuan yang sudah mengisi hatinya selama beberapa tahun lamanya. Perempuan yang tidak sedikitpun hilang dari pikirannya.

Tanpa ia tahu, wanita yang sedang ia minta kepada sang Pencipta kini tengah melakukan yang sama. Bedanya ia meminta petunjuk atas apa yang sedang ia rasakan. Ia seakan sedang mengadu pada Robb-nya mengenai dirinya yang memiliki perasaan aneh setelah bertemu dengan seseorang. Apakah ia benar-benar merindukan sosok pria yang sudah lama tidak ia temui? Apa ia memiliki perasaan terhadapnya?

Tok tok tok

Pintu kamarnya terketuk, ia segera menyelesikan doanya dan bangkit menuju pintu. Senyumnya seakan langsung merekah setelah melihat siapa yang berdiri depan pintu kamarnya. Ia tiba-tiba saja langsung berhambur dipelukan sosok dihadapannya.

"Sayang, kamu kenapa? Abi lihat sudah dua hari kamu di sini tapi perasaanmu seeperti tidak senang. Abi merasa seperti ada yang sedang kamu pikirkan." Ansel mengusap pelan puncak kepala putrinya.

Ketika sedang memeluk putrinya ia merasa sedikit sedih, karena rasanya waktu berjalan begitu cepat. Bayi mungil yang dulu ia bawa dari rumah sakit tanpa kehadiran seorang ibu kini telah tumbuh besar. Seorang putri yang begitu cerewet dan sangat usil persis seperti dirinya, namun juga sangat cantik seperti ibunya. Ansel bahagia walaupun kelak ia pasti akan berpisah dengan putrinya jika nanti putrinya menikah.

"Abi, Miru mau cerita sama Abi. Abi ada waktu nggak buat Miru? Apa Miru menganggu waktu abi sepagi ini?" tanya Miru yang masih mendekap tubuh abinya.

"Boleh banget sayang, justru abi menemui kamu sepagi ini agar abi punya waktu yang leluasa dengan putri abi."

Ansel menuntun Miru untuk pergi ke halaman belakang rumah orang tuanya—lebih tepatnya rumah mendiang ibunya Ansel. Mereka kini tengah duduk berdua di atas ayunan. Meskipun tidak begitu besar, namun halaman belakang rumah ini cukup luas.

"Abi, selama beberapa tahun ini bahkan sampai terakhir kali kita berada di Indonesia sebelum berangkat ke sini, Miru selalu mimpi aneh."

"Mimpi apa itu?"

Miru menceritakan mimpinya yang selalu membuat ia terbangun di tengah malam. Mimpi yang berulang dengan kejadian yang sama secara terus-menerus.

"Abi, apakah setelah kejadian lima tahun lalu ada seseorang selain Abi yang datang menjenguk Miru? Seseorang selain Abi, Ayah Hariz, Ali atau Fahri? Dan juga yang membawa Miru ke rumah sakit saat kecelakaan itu Abi kan?"

Ansel menghembuskan nafasnya dengan hembusan yang terasa berat. Ia memasang air muka serius saat ini.

"Oke akan abi jawab satu persatu. Yang menjengukmu selain kami ada Asraf, dosen Reza dan juga Farzan. Tapi yang paling sering ke rumah sakit saat kamu belum sadar ialah Farzan. Yang membawa kamu ke rumah sakit juga bukan Abi melainkan Farzan."

"Farzan juga yang menjebloskan Alzam ke penjara dengan wajah yang cukup mengenaskan karena di hajar habis-habisan olehnya. Awalnya Abi tidak mengerti kenapa ia bersikap sampai sejauh itu untuk putri Abi selain hubungan sebagai dosen dan mahasiswa," lanjut Ansel menjelaskan.

"Maksud Abi?"

"Setelah kejadian itu, Abi meminta penjelasan darinya dan akhirnya ia mengakui bahwa ia menyukaimu. Bahkan ia hampir membatalkan beasiswanya dan ingin menunggu sampai kamu benar-benar pulih. Abi tau perasaannya sangat besar untukmu, tapi abi tidak mau rasa cintanya untukmu justru menghambat masa depannya. Beasiswa itu tidak mudah didapatkan dan ia tidak boleh kehilangan kesempatan hanya untuk putri Abi. Kamu paham 'kan sayang?"

Long Time & Distance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang