14. Bukan Wanita Biasa

95 9 2
                                    

"Barusan Bapak bilang apa?" tanya Miru memastikan ia tidak salah dengar.

"Itu awannya cantik, langitnya begitu cerah dan matahari cukup terik. Kenapa berbanding terbalik dengan keadaan saya yang kelabu ya?" ucap Farzan sambil menatap ke hamparan langit yang begitu cerah.

"Ooohhh, ia cantik banget awannya. Btw memang bapak siapa sampai cerah atau tidaknya awan harus mengikuti suasana hati bapak?" tanyanya dengan iseng mencoba meledek.

"Tapi, bercanda ya, Pak. Justru karena awannya indah jadi memperbaiki suasana hati bapak yang sedang mendung 'kan?" lanjutnya.

"Hampir aja keceplosan!" ucapnya dalam hati.

Niat Farzan sebenarnya ingin memuji penampilan Miru hari ini karena terlihat begitu cantik. Sebenarnya ia malu pada wanita yang kini bersamanya duduk berdampingan. Ia malu karena harus mengalami hal tidak terduga di hadapan Miru. Ia sebenarnya kesal, marah dan perasaan campur aduk lainnya. Bagaimana mungkin Inara membatalkan pernikahannya begitu saja dimana harusnya akad sudah terlaksana saat ini?

"Kamu ini bisa saja, kamu ternyata suka isengin orang ya dan meledek orang secara frontal," balas Farzan tersenyum.

Miru hanya membalas dengan senyuman mendapat ungakapan seperti itu dari Farzan. Ia berpikir apa yang harus dilakukannya saat ini. Nggak mungkin kan duduk seharian di pinggir jalan seperti ini? Mana segala pakai dress lagi?

"Pak, tunggu di sisi sebentar ya. Saya mau ke mini market di sebrang jalan sana. Awas aja kalau Bapak pergi dan ninggalin saya!" ucapnya dengan nada mengancam di akhir.

"Iya, iya. Kamu mau ngapain ke sena?" tanya Farzan.

"Kepo ya Bapak, dah saya mau ke sana. Jangan pergi pokoknya!" ancamnya dan segera melangkah pergi menyebrangi jalanan.

Sesampainya di mini market, Miru mencari apa yang sedang ia pikirkan tadi. Cuaca yang begitu cerah ditemani teriknya matahari membuat ia berpikir untuk mendinginkan tenggorokannya. Ia mencoba membuka box eskrim dan melihat beberapa varian rasa eskrim yang akan dia beli nantinya. Kali ini Miru sangat bersyukur karena ia selalu membawa tas kecilnya, jika tidak entah bagaimana ia akan membeli eskrim dan hal lainnya nanti.

Miru berjalan keluar dari mini market dengan perasaan yang senang. Ia tidak banyak membeli varian rasa eskrim hanya coklat, dan stroberi. Sesampainya di tempat yang seharusnya ada Farzan, ia merasa bingung. Kemana perginya sang dosen menyebalkan itu? Sudah lelah ia panas-panasan menyebrangi jalan hanya untuk membeli eskrim malah ditinggalin.

"Sudah ke mini marketnya?"

"Astaghfirullahaladzim! Hih bikin kaget aja. Bapak dari mana aja sih kok tiba-tiba menghilang?" gerutunya dengan sangat kesal.

"Saya abis beli ini, untung aja saya sempet nyelipin dompet di saku jas saya tadi." Farzan menunjukkan kaos yang dipakainya. Ia baru saja membeli kaos untuk mengganti jas yang ia kenakan untuk pernikahannya.

"Ooohh I see, saya pikir tadi bapak melarikan diri dan ninggalin saya di pinggir jalan kaya orang hilang. By the way, Nih bapak pilih mau rasa apa." Ia menyodorkan plastik yang sudah pasti semuanya berisi eskrim pilihannya.

"Apa ini? Astaghfirullah kamu beli eskrim banyak banget sih?" tanyanya yang membuka plastik.

"Sudah ih, ambil aja untuk mempermanis suasana hati bapak yang sedang kacau. Setelah itu kita pulang deh. Lihat tuh, banyak banget panggilan tidak terjawab dari Abi sama Ali."

Farzan yang melihat tingkah Miru untuk pertama kalinya seperti ini hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Miru memang berbeda, ia bisa terlihat begitu tegas, cuek tapi juga ternyata bisa seekspresif ini kepada orang lain. Ia bahkan tidak meminta Farzan untuk bercerita bagaimana perasaannya saat ini, namun menghiburnya dengan banyak cara.

Miru begitu menikmati eskrimnya dengan sangat antusias. Ia tau bahwa setelah pulang dari sini pasti Abinya akan memberikan ujian lisan kepadanya. Ujian lisan yang sudah seperti intrograsi para penyidik kepolisian pada tersangkanya.

Tin tin

Sebuah mobil bewarna maroon dengan kaca yang gelap berhenti di hadapan keduanya. Tak butuh waktu lama kaca mobil terbuka dan menampilkan sosok laki-laki yang lengkap dengan kaca mata hitam bertengger di hidung mancungnya. Laki-laki dengan kemeja hitam yang berada di balik kemudi itu memperhatikan Miru dengan wajah sebalnya.

"Miru, itu siapa? Kayanya dari tadi melihat ke arah kamu," tanya Farzan karena Miru tidak menghiraukan orang yang ada di dalam mobil dengan berkali-kali membunyikan klakson mobilnya.

"Oooh itu mah biarin aja, nanti kalau sudah capek dia pasti turun nyamperin kita," ucapnya dengan santai.

Benar dugaan Miru, bahwa pria yang sedari tadi hanya menatapnya dari dalam mobil kini berjalan ke arahnya.

"Dasar nggak peka, ayok pulang!" ucap sang pria ke Miru dengan tegas.

"Hei, kamu siapa? Bisa bicara dengan baik ke perempuan?" Farzan bangkit dari tempat duduk dan menatap tajam pria dihadapannya.

"Tuh dengerin, kalau bicara sama perempuan apalagi lebih tua itu yang sopan terus baik-baik!" ucap Miru dan melangkah pergi masuk ke dalam mobil.

Farzan hanya mengerutkan dahinya dengan bingung. Siapa pria ini? Dia tau betul bahwa pria ini bukan adiknya Miru karena sangat berbeda dengan yang tadi datang bersama Miru di Masjid.

"Ayo, Bapak ikut juga biar saya antar pulang sekalian," ucap Miru.

"Bapak jangan khawatir, ini adik saya. Dia ini anak dari Ayah sama Bunda, tapi memang suka nyebelin. Nanti Miru ceritain kalau masih ada waktu lain, soalnya panjang ceritanya hehe..." lanjutnya.

"Saya di sini aja, kamu pulang aja." Kekeh Farzan.

"Mending anda ikut saja, kalau nggak kakak yang nyebelin di dalam mobil itu akan berisik sepanjang hari dan ngebuat semua orang bangkrut," Ali menimpali meminta Farzan untuk ikut mereka.

"Oh iya, nama saya Ali. Saya adiknya dan lebih tepatnya anak dari ayah dan bunda angkatnya kak Miru. Saya diminta orang rumah untuk mencari sekaligus menjemput anak kesayangan mereka." Ali mengulurkan tangannya dan tersenyum ramah ke Farzan dengan ekpresi sebal sesekali kea rah Miru.

Ali adalah anak satu-satunya dari Hariz dan Anggi, wajah tampannya sering sekali membuat orang yang di sekitar Miru salah paham. Mereka memang tidak seperti adik kakak namun lebih sering seperti teman sepermainan. Ali selalu menjadi teman main Miru jika sedang main ke Yogyakarta. Ia menganggap Miru benar-benar seperti kakaknya sendiri dan bahkan sudah berjanji pada ayah dan bundanya untuk menjaga Miru jika nantinya ia jadi kuliah di Yogya.

"Ooh begitu, sepertinya kamu antar pulang saja Miru, saya akan pulang nanti dengan teman saya," Farzan menolak tawaran Ali.

"Sudah aneh terus keras kepala lagi, bapak dosen terhormat, bisa naik ke mobil sekarang nggak?" Miru turun dari Mobil dan menghampiri keduanya.

"Sudah, Pak. Kalau sama ini anak urusannya bakalan panjang, jadi lebih baik bapak ikut kami dan saya antar langsung ke rumah," bujuk Ali dan akhirnya Farzan menurutinya.

Mereka bertiga akhirnya meninggalkan tempat dan pergi bersama-sama menuju kediaman Mahadi Wijaya. Stok eskrim yang masih tersisa beberapa membuat Miru tidak habis akal untuk menikmatinya, sedangkan Farzan dan Ali, keduanya berbincang mengenai kampus. Ali mulai mencari tau banyak hal mengenai kampus yang akan menjadi tempatnya menempuh pendidikan nantinya.

"Ali awas!" teriak Miru tiba-tiba.

Ali segera memutar kemudi menghindari sesuatu yang ada di depannya.

🍁🍁🍁

Haloha
Assalamualaikum gaeesss
Afwan ya karena aku telat banget UP-nya
Aku habis sakit jadi baru bisa UP
Thanks yang udah mau mampir 🥰
Love you buat kalian
Bye bye see you next part 👋

Long Time & Distance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang