Waktu terus berlalu dan kini sudah saatnya bagi seorang Farzan untuk menikah. Langit masih dalam gelap dan matahari belum menampakkan sinarnya. Farzan masih khusyu' duduk di atas sajadah dengan segala rasa bimbang yang menyelimuti hatinya. Rasa ragu seakan kian memenuhi relung hatinya. Ia terus bertanya dalam hatinya apakah keputusan yang diambilnya sudah benar? Apakah dengan mengorbankan perasaannya dan memenuhi keinginan orang tuanya ini adalah hal yang benar?
Sejuta pertanyaan tidak pernah habis dalam benaknya. Hari ini adalah hari dimana ia akan menikahi wanita pilihan orang tuanya. Wanita itu bernama Inara dan ia sangat cantik. Dua kali Farzan berbicara dengan Inara, menurutnya Inara wanita yang baik meskipun sejujurnya hatinya masih tertuju pada Miru. Anggap ini adalah perjodohan dan semoga hatinya mampu berpaling untuk hanya mencintai istrinya kelak.
Tok tok tok
Mendengar suara ketukan pintu, ia segera bangkit dan melipat sajadahnya melangkah ke arah pintu.
"Iya, bu?" tanyanya pada wanita paruh baya yang ternyata ibunya.
"Loh kok anak ibu belum siap-siap? Kita berangkat ke masjid satu jam lagi dan seluruh keluarga sudah bersiap-siap, Zan," ucap ibunya dengan senyum bahagia yang terpancar jelas karena ini adalah hari pernikahan putranya.
"Iya, Bu. Farzan baru saja selesai dzikiran dan ini mau bersiap-siap. Bapak mana bu?"
"Bapakmu lagi ngobrol bareng pakde dan bude kamu serta keluarga lainnya. Terima kasih ya nak karena kamu mau menuruti permintaan bapakmu." Denia memegang tangan Farzan dengan sedikit merasa lega karena putranya mau menerima perjodohan yang diminta oleh suaminya.
"Iya bu, yasudah Farzan siap-siap dulu habis itu menemui bapak. Ibu jangan lupa sarapan dulu ya." Farzan mengusap wajah ibunya.
Denia hanya mengangguk dan segera melangkah pergi memberikan ruang untuk Farzan bersiap-siap.
Siapa yang tau bahwa hatinya masih terasa mengganjal bahwa apa yang ia lakukan ini masih dalam keraguan. Perasaannya kian tidak baik-baik saja, tapi ia terus berdoa memohon kebaikan dalam hhidupnya pada sang Pencipta.
Drrtttt drrttttt ....
Ponsel yang tergeletak di atas nakas terus bergetar menampilkan nama seseorang. Miru yang baru saja menyelsaikan bacaan ayat-ayat suci Al-Quran segera bangkit mengambil ponselnya. Ia khawatir jika telfon itu sangat peting. Belum sempat ia mengangkatnya ternyata getaran ponselnya berhenti, baru saja ia berbalik ingin melanjutkan kegiatannya lagi-lagi telfon itu bergetar.
Miru membuang napas dengan malas dan mengambil ponselnya. Pupil matanya melebar melihat nama kontak yang menelfonnya.
"Mau apa pagi-pagi seperti ini menelfon?" monolognya sebelum mengangkat telfon dari orang yang selalu ia hindari.
Dengan mengucap Bismillah, ia menggeser opsi hijau yang ada di layar ponselnya. Namun, tidak ada suara apapun hanya keheningan.
"Assalamu'alaikum, maaf ada apa ya, Pak?" tanya Miru mencoba membuka suara lebih dahulu.
Miru berharap ada jawaban, namun nyatanya nihil.
"Maaf, Pak Farzan ada apa ya telfon saya pagi-pagi seperti ini?" ia mencoba sekali lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban dari seberang telfon.
Miru yang merasa kesal mematikan sambungan telfon dan mendumel.
Dasar, dosen nggak jelas banget! ucapnya dan kembali meletakkan ponselnya di atas nakas.
Berbeda dengan Miru yang merasa kesal, Farzan justru sedikit merasa tenang mendegar suara Miru. Suara Miru seakan menjadi obat bagi kegelisahan yang meliputi hatinya saat ini. Tidak tau apa yang ada di pikirannya sampai ia berani menelfon Miru tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Kini seluruh keluarga Wijaya bersama-sama berangkat ke Masjid yang akan menjadi tempat dimana Farzan melangsungkan akad dengan wanita yang dipilihkan orantuanya. Meskipun hatinya masih berat, ia mencoba terus beristighfar selama dalam perjalanan.
"Kamu pasti nervous ya, Zan?" tanya Adi Wijaya melihat wajah sang putra yang terlihat sedikit cemas.
"Nggak kok, Pak. Farzan hanya sedikit gugup dan merasa waktu berjalan semakincepat saja," balasnya mencoba untuk tersenyum.
"Dulu waktu Bapak menikahi Ibumu juga rasanya gugup dan nervous takut salah pengucapan saat akadnya...." Adi terus bercerita mengenai bagaimana kondisinya dulu saat akan menikah dengan Denia yang tak lain adalah Ibunya Farzan.
"Masalahnya Farzan khawatir salah menyebutkan nama nantinya, Pak," ungkapnya dalam hati karena tidak berani mengungkapkan secara langsung ke orang tuanya.
🍁🍁🍁
"Sayang! Udah pada siap semua belum? Nanti kita terlambat loh," teriak Ansel memanggil Arsyila.
"Miru udah siap, Bi. Umi lagi ke kamar mandi sebentar," Miru datang dengan dress panjang berwarna biru menambah pesona kecantikan dan keanggunannya saat ini. "Bi, kita mau kondangan dimana sih kok pagi-pagi banget?" lanjutnya bertanya.
"Iya, Bi. Kondangannya kenapa gak siang aja?" Fahri menimpali pertanyaan kakaknya.
"Abi di undang ke acara akadnya sebagai saksi, makanya ayok jangan sampai terlambat karena ini sudah jam 7 dan khawatir macet." Balesnya pada kedua anaknya.
"Aku udah siap, Mas. Yuk berangkat." Arsyila datang dari arah belakang dan berjalan menghampiri suami serta kedua anaknya.
"MasyaAllah, bidadari dari mana ini?" goda Ansel pada istrinya.
"Inget udah jam berapa ini ya? Gombal-gombalannya nanti aja ke Uminya," Fahri mencoba menghentikan Ansel sebelum mengeluarkan lebih banyak godaan untuk uminya dan lupa waktu.
Ansel menatap tajam Fahri dan kemudian semua orang tertawa dengan perdebatan anak dan ayah ini. Anggi, Hariz serta Ali sebenarnya di undang juga, namun mereka memilih menyusul aja.
"Bener tuh kata Fahri, gih berangkat sana dan hati-hati di jalan," Anggi menimpali sambil tersenyum jahil.
Perjalanan dari rumah menuju tempat pesta pernikahan di gelar memakan waktu sekitar tiga puluh menit dari rumah Ansel. Hari ini Ansel mengendarai mobil bersama keluarganya tanpa pak Bimo. Ia menyetir dengan di dampingi istri tercintanya di samping kemudi. Ansel tidak lepas mencuri-curi pandang ke sang istri dan berkali-kali juga ia dihadiahi ledekan dari kedua anaknya.
Mobil melesat membelah jalanan yang tidak terlalu ramai karena hari ini adalah hari libur. Mobil sedan bewarna hitam itu memasuki perkarangan masjid dimana sudah cukup banyak karangan bunga yang memenuhi badan jalan.
"Akhirnya sampai juga, yuk semuanya turun dari mobil dan jangan lupa handphonenya jangan ditinggal!" intruksi Ansel ketika sudah memarkirkan mobilnya dan segera turun dari mobil.
Berbeda dengan kedua orang tua dan adiknya, Miru mematung merasa tidak percaya dengan apa yang ia lihat di sepanjang badan jalan di area perkarangan Masjid. Banyak karangan bunga ucapan selamat atas pernikahan yang akan di gelar. Bukan karangan bunganya, namun nama yang tertera di papan bunga itu. Apa benar yang ia lihat? Apa ini hanya kebetulan saja namanya sama? Begitu banyak pertanyaan dalam benaknya saat ini.
"Kak Miru, ayok turun dan jangan ngelamun dong!" Fahri menyentuh bahu kakanya sembari mennydarkan kakaknya agar tidak berdiam diri di dalam mobil.
"I..iya dek," balasnya pelan kemudian segera keluar dari mobil.
Ia berjalan perlahan berdampingan dengan adiknya dan mengekor di belakang kedua orang tuanya.
Apa benar dengan yang kulihat saat ini? pikirnya yang masih belum percaya.
~ 🍂 ~
Hai hai
Assalamualaikum semuanya ☺️
Gimana nih kabarnya?
Btw jangan lupa vote dan komen ya ... 😁Bye bye see you next time 😘😘😘
Semoga Hari kalian berjalan dengan baik 🤲
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Time & Distance
SpiritualSequel "Turkish Airline-67" Baca dulu ya, kalo suka masukkan ke list bacaan kalian dan jangan lupa vote + komen 😁 Kamu itu bagaikan angan semu yang sulit untukku gapai Kamu itu bagai bulan yang jauh untuk ku raih Aku hanya bisa diam dan tidak ta...