Haris dan Ansel sudah duduk di depan terasan rumah Ansel menunggu putri kesayangannya pulang.
"Nah, itu sepertinya Miru deh, Ans. Sudahlah jangan dimarahin, namanya juga dia sedang ikut kegiatan organisasi dan itu juga kegiatan yang positif 'kan?" ucap Haris ketika sebuah mobil Hitam berhenti di depan rumahnya.
"Hm," Ansel hanya menjawab seadanya.
Ia khawatir setengah mati karena saat pulang ke rumah dan putrinya tidak ada. Bahkan telfonnya juga tidak bisa dihubungi, ia hendak menyusul ke tempat perkampungan baca yang pak Bimo katakan hanya saja dia ditahan oleh Haris.
Dua orang gadis dan seroang pria turun dari mobil dan melangkah ke rumah berwarna putih dengan pagar yang cukup tinggi. Miru bisa melihat dengan jelas Abi dan ayahnya sudah menunggu dirinya di depan teras rumah. Melihat tatapan Ansel yang tidak lepas membuat ia segera menunduk dan berjalan seraya memilin jilbabnya.
"Aku akan bantu kamu buat jelasin ke orang tuamu, jadi jangan cemas ya," ucap Alzam mencoba menenangkan ketika melihat Miru yang sedikit terlihat takut.
"Aku juga, Mir. Udah ya Abi kamu itu nggak akan marah karena beliau itu hanya khawatir aja sama anaknya." Anin memegang bahu Miru.
"Makasih ya, Kak Alzam juga Anin."
Ansel dan Hariz berdiri ketika melihat ketiganya berjalan semakin dekat.
"Assalamu'alaikum, Abi, Ayah. Maaf karena Miru pulang terlambat," ucap Miru dan menyalami Abinya kemudian diikuti oleh Anin dan juga Alzam.
"Jam berapa sekarang? Kenapa nggak menghubungi Abi untuk minta jemput atau pak Bimo?" sarkas Ansel.
"Maafin Miru Bi," ucapnya dengan suara yang bergetar.
"Om, maaf ini salah saya. Memang tadi acaranya selesai lebih lama dan tadi saya juga harus membereskan buku-buku sebelum bisa mengantarkan Miru dan juga Anin. Tolong jangan marahin Miru ya, Om," Alzam mencoba menjelaskan ke Ansel.
"Iya, Om. Ini juga salah Anin. Harusnya tadi Anin kirim chat ke tante Arsyila ngabarin kalau Miru pulangnya bareng Anin," lanjut Anin membujuk Ansel.
"Kamu siapa?" tanya Ansel ke Alzam.
"Saya, Alzam Al-Fatih, Om. Saya biasa dipanggil Alzam dan saya teman mereka di satu organisasi kampung baca." Alzam memperkenalkan diri ke Ansel dengan nada suara yang lugas.
"Ya sudah, terima kasih karena sudah mengantarkan Miru dan Anin ya," ucap Ansel.
"Iya, Om. Karena sudah cukup malam saya pamit pulang ya, Om."
"Nggak minum dulu, Alzam?" tanya Hariz mencoba menawarkan Alzam untuk sekedar minum sebentar.
"Tidak perlu, om. Kalau begitu saya pamit. Assalamu'alaikum." Alzam menolak dan segera pamit ke Hariz dan juga Ansel dengan menyalami keduanya.
"Oke, wa'alaikumsalam, hati-hati ya di jalan," Ansel menjawab salam sebelum mengantarkan Alzam sampai ke depan pintu gerbang.
Setelah kepergian Alzam, Ansel meminta Miru dan Anin untuk segera masuk rumah dan membersihkan diri sebelum lanjut untuk makan malam walaupun pastinya sudah sangat terlambat. Ansel tidak banyak bicara, karena ia kecewa putrinya pulang terlambat tanpa mengabarinya.
Tok tok tok
"Bunda boleh masuk?" tanya Anggi yang berdiri depan pintu kamar Miru yang memang terbuka sedikit.
"Iya bunda, boleh kok. Masuk aja!" jawab Miru.
Anggi yang notabennya ibu angkat Miru ketika Arsyila dulu koma merasa rindu dengan putrinya. Anggi tau bahwa Miru sedang sedih karena Ansel tidak menanggapinya sejak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Time & Distance
EspiritualSequel "Turkish Airline-67" Baca dulu ya, kalo suka masukkan ke list bacaan kalian dan jangan lupa vote + komen 😁 Kamu itu bagaikan angan semu yang sulit untukku gapai Kamu itu bagai bulan yang jauh untuk ku raih Aku hanya bisa diam dan tidak ta...