Mencintai itu bukanlah hal yang mudah, mengatakan cinta pada orang yang dicintai dalam diam itu sangat sulit. Berkali-kali ia memohon petunjuk, tapi yang selalu datang dalam memori ingatannya hanyalah seorang Mihrimah Hanindira. Dia menghembuskan napas berkali-kali, tapi keyakinannya tetap sama. Dalam kesunyian malam ia terus berdzikir meminta yang terbaik dengan apa yang harus dilakukannya.
Berbeda dengan Miru yang menyembunyikan segala rasa kalutnya setelah mendengar soal pernikahan Farzan. Miru tetap dalam diamnya meminta pada sang Ilahi agar diberikan keihlasan dalam hatinya. Ia berkali-kali memohon ampun pada Robb-Nya karena telah berani menaruh hati pada ciptaan-Nya.
Jika kalian bingung kapan Miru jatuh hati pada Farzan? Ya, ketika sejak pertama kali perkenalan para dosen saat ia awal mula menjadi seorang mahasiswa. Ia menganggumi sosok laki-laki berparas manis nan tampan dengan segudang prestasinya. Pria yang disebut-sebut akan melanjutkan pendidikannya di Eropa dengan jalur beasiswa. Wanita mana yang tidak mengaguminya? Tapi itu hanya perasaan kagum belum ada hal seperti yang namanya cinta.
Berkali-kali ia berpapasan dengan Farzan, membuatnya diam-diam memperhatikan sang dosen dari jauh. Tanpa ada seorangpun yang menyadari bahwa dirinya saat itu sedang jatuh hati. Mengingat kembali tujuan utamanya untuk mencari ilmu di kampus dan menjadi kebanggaan keluarganya membuat Miru selalu memohon perlindungan Robb-nya agar senantiasa menjaga hati dan pikirannya dari yang tidak halal baginya termasuk cinta sebelum adanya ikatan pernikahan.
"Ya Robb, aku sadar cintaku ini salah. Aku sadar telah telah menaruh hati pada orang yang tidak seharusnya sebelum waktu yang menjadi ketetapan-Mu tiba. Tapi, aku mohon agar Engkau melapangkan hatiku terhadap takdir yang telah Enkau gariskan untukku," harapan dua orang yang berada pada malam yang sama namun di tempat yang berbeda menengadahkan tangan dengan penuh kepasrahan dalam ibadahnya kepada sang penguasa alam semesta.
Lantunan dzikir tidak lepas dari bibir manis sang gadis yang tanpa ia sadari cairan bening jatuh secara perlahan membasahi wajah cantiknya.
InsyaAllah aku ikhlas dan aku pasrah pada Robb-ku. Monolongnya dalam hati dan menghembuskan napas kelegaan untuk melapangkan hatinya.
🍁🍁🍁
"Umi, ini nasi gorengnya kasih tomat nggak?" tanya Miru yang sedang sibuk membantu uminya menyiapkan sarapan pagi.
"Tomatnya nggak usah dicampur sayang, tapi di potong-potong aja secara terpisah. Kamu tau kan kalau abimu sukanya tomat yang masih segar?" intruksi Arsyila pada anak gadisnya.
"Oke, siap Umiku tersayang. Aku hari ini izin pulang terlambat ya mi, soalnya mau ikut Anin, dan yang lainnya ke salah perkumpulan remaja baca."
"Iya, tapi pulangnya tetap hati-hati dan selalu kabarin umi atau abi ya."
"Siap, Ibu boss!"
Setelah beberapa malam ia berkeluh kesah pada sang Pemilik Alam Semesta, kini hatinya sudah mulai tenang. Beberapa penawaran mengenai keikutsertaannya pada kegiatan-kegiatan positif mulai berdatangan dari orang-orang terdekatnya. Ia ditawari oleh Anin sahabatnya untuk ikut serta peresemian rumah baca bagi remaja kedua yang dibangun oleh salah organisasi keislaman di kampusnya. Rumah baca bagi remaja yang dibangun di sebuah perkampungan kecil sekaligus menyelipkan dakwah-dakwah keislaman bagi anak-anak kampung tersebut.
"Lagi mandi terus jadi nggak fokus karena ada aroma-aroma yang sangat nikmat, kirain tetangga sebelah mana yang lagi masak ternyata sang permaisuri dan putri mahkotanya Abi," kata Ansel yang tiba-tiba datang memasuki dapur melihat kedua wanita kesayangannya.
"Hm, bisaan banget ya godainnya. Abi mau di potongin tomat aja atau sama timun sekalian?" tanya Miru dengan segala ke sibukannya memasukkan nasi goring buatannya ke atas piring.
"Boleh deh timunnya juga," jawab Ansel kemudian menghadapkan dirinya ke Arsyila,"Sayang, Hariz sama Anggi hari minggu mau ke sini sekalian menginap beberapa hari, gimana?"
"Wah, serius nih? Alhamdulillah, rame dong. Ya sudah ntar aku siapin kamar untuk mereka sekaligus aku belanja banyak buat persiapan kedatangan mereka," Arsyila antusias mendengar sahabatnya akan datang.
"Wah, bunda sama ayah mau ke sini. Bi? Terus Ali ikut nggak, Bi?" tanya Miru yang tidak kalah antusiannya dengan sang Umi.
"Katanya sih ikut, soalnya mau lihat-lihat kampus kamu karena dia keterima jalur undangan jurusan kedokteran."
"Woah, MasyaAllah, Ali memang hebat. Aku bakalan nemenin dia keliling kampus sampe puas," ucap Miru semakin kagum mendengar penuturan Ansel.
Acara masak-masak dan obrolan ringan di dapur pun dilanjutkan dengan sarapan pagi dan keseruan keluarga mereka. Mereka sarapan bersama-sama dengan asisten rumah tangga dan pak Bimo. Mereka tidak suka membeda-bedakan status orang dalam hal apapun, terlebih pekerjaan. Jika kalian bertanya kemana Fahri? Maka jawabannya adalah adik kesayangannya Miru itu sudah kembali ke pesantren dan sedang dalam masa ujian akhir sebelum nantinya melanjutkan sekolah ke Madratsah Aliyah terbaik di Kotanya.
"Assalamu'alaikum, Mir. Btw udah sarapan belum?"
"Wa'alaikumsalam, kamu pagi-pagi udah kaya apa gitu ya Naf tiba-tiba muncul nepuk tas ranselku," Miru menggerutu dengan sikap Arnaf yang suka tiba-tiba menepuk tasnya dari belakang.
"Hehehe, maaf deh. Oh iya nih roti isi coklat buat kamu sarapan. Oh ya, katanya jurusan kita mau mengadakan field trip, kamu ikut 'kan?"
"Sebenernya aku udah sarapan, tapi makasih ya rotinya. Uuummm, kalau itu aku belum tau Naf, soalnya belum izin sama Abi. Emang kita field trip kemana sih?"
"Sama-sama. Yang aku tau sih, tujuannya ke Malang sama Bali. Ayo dong ikut, Jia sama Putra dan anak-anak kelas lainnya ikut. Aku yang akan bilang ke Abimu deh dan mastiin kalau putri kesayangannya nanti kita jagain bareng-bareng," bujuk Arnaf.
"Ntar deh, aku coba bilang. Siapa tau aja di kasih izin."
"Oke, harus ikut pokoknya,"
Miru hanya tersenyum seraya mengangguk menyetujui perkataan Arnaf. Ia bingung harus ikut atau tidak? Tapi, dia ingin sekali bisa ikut kegiatan tersebut. Miru pun berpikir bagaimana membujuk Abinya agar memberikan izin untuknya.
Mereka berdua melangkah seraya bercanda bareng, tanpa keduanya sadari ada sepasang mata yang menatap dengan terpaku melihat ekspresi riang sang wanita tetapi juga sedikit ngilu karena wanita itu tertawa bersama laki-laki lain. Farzan memperhatikan dari kejauhan kedua mahasiswanya sedang berjalan sambil berbincang seolah pembicaraan itu tidak ada habisnya. Ia tersenyum ketika membayangkan jika saja yang berada di sebelah Miru adalah dirinya bukan Arnaf. Melihat senyum dan tawa Miru dari jarak yang begitu dekat mungkin tidak semenyakitkan ini.
"Pak Farzan!"
"Astaghfirullah, yah ada apa ?" tanya Farzan yang terkejut ketika seorang mahasiswa memanggil namanya dengan suara yang cukup keras.
"Bapak dari tadi saya panggil tidak menoleh? Saya mau bertanya terkait proposal saya apakah masih ada revisi lanjutan?" tanya sang mahasiswa.
"Oh iya, masih ada sedikit revisi lagi, nanti kamu ambil saja di meja saya yak arena saya harus ke dekanat."
"Siap Pak."
Setelah kepergian mahasiswanya, Farzan memegang pelipisnya seraya menggelengkan kepalanya dan tersenyum sedikit merutuki dirinya yang sedikit merasa bodoh. Bagaimana tidak? Di saat ia sebentar lagi akan menikah tetapi malah membayangkan Miru.
"Bismillah, pasti bisa mengikhlaskan!" batinnya.
_________________________
Aku ini hanya bisa bernadai-andai
Aku ini laki-laki pengecut
Jangankan berbicara cinta, berdiri di hadapanmu saja aku tidak bisa
Biarkan rasa ini tersimpan rapi pada tempatnya...~ Farzan ~
___________________________
Assalamualaikum....
Jangan lupa Voment ya 🥰
See you next part 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Time & Distance
EspiritualSequel "Turkish Airline-67" Baca dulu ya, kalo suka masukkan ke list bacaan kalian dan jangan lupa vote + komen 😁 Kamu itu bagaikan angan semu yang sulit untukku gapai Kamu itu bagai bulan yang jauh untuk ku raih Aku hanya bisa diam dan tidak ta...