19. Terima Kasih

69 16 2
                                    

"Miru!"

Sontak semua menoleh ke arah sumber suara dan panggilan itu tepat sebelum terjadinya foto antara Alzam dan Miru.

"Iya, Pak?" tanya Miru merasa bingung.

"Segera kamu ke dekanat untuk minta nomor surat sekaligus cap." Farzan menyerahkan selembar kertas ke Miru.

"Baik, pak," jawab Miru dan akan segera melangkah.

"Mir, nanti aja. Foto dulu saja sebentar habis itu baru deh ke dekanat," saran Ajeng.

"Saya minta sekarang juga, Oh iya sekalian bareng saya saja, kebetulan saya ada keperluan dengan pak Jery," Farzan seketika membalas ucapan Ajeng dan mereka semua terdiam jika sudah melihat sikap Farzan yang tegas dan kekeuh seperti ini.

Farzan dan Miru pun akhirnya sama-sama melangkah meninggalkan mereka semua. Entah mengapa Miru merasa sangat lega ketika Farzan memintanya beranjak dari tempat tadi. Miru merasa bersyukur, walaupun ia sendiri tidak mengerti mengapa seperti itu?

"Kamu kenapa senyum-senyum begitu?" tanya Farzan melihat mahasiswi yang berjalan disampingnya ini tiba-tiba tersenyum sendiri.

"Nggak apa-apa, Pak. Oh iya, terima kasih banyak ya, Pak," ucapnya secara tiba-tiba diakhir kalimat megucapkan terima kasih.

"Untuk apa?"

"Untuk semangatnya pagi tadi, terus menyelamatkan saya dari rasa canggung pas foto sama teman-teman."

"Teman-teman atau sama pria yang mengenakan kemeja hitam?" tanya Farzan penuh selidik.

"I..iya sih."

"Dia pacar kamu ya?"

"Hah? Pacar? Bapak tau Abi saya 'kan? Sebelum dia jadi pacar yang ada dia masuk dalam persidangan duluan karena menganggu anak gadisnya Abi," jelas Miru dan hal itu sontak membuat Farzan tertawa.

"Kamu ini bisa aja bercandanya, iya juga sih. Abi kamu itu terlihat sedikit protektif dengan anaknya."

"Over malahan, Pak. Tapi sebenarnya itu semua karena abi sangat sayang dengan aku."

Mereka terus berbincang sampai mereka tidak sadar sudah sampai di denakat dan terpisah karena ruangan yang mereka tuju berbeda. Setelah membuat alasan ikut ke dekanat karena ada urusan dengan Jery yang ada di dekanat, kini justru membuatnya bingung harus bilang apa ketika bertemu jery. Ia tidak ada niatan untuk ke dekanat dan tidak ada urusan yang begitu urgent. Bahkan saat ini dirinya ke dekanat tanpa membawa berkas apapun.

Ketika sampai di ruangan Jery yang dimana ada beberapa temannya termasuk Reza. Farzan mencoba rileks dan seolah sedang tidak merasa bingung ataupun canggung. Berbeda dengan yang lain, Reza terkejut karena kedatangan Farzan yang tidak membawa satu berkas pun bahkan ia juga meninggalkan ponsel di kantor jurusannya.

Reza melihat tingkah Farzan mengerti bahwa kali ini pasti ada hubungannya dengan Miru. Sahabatnya ini hanya akan bertingkah konyol jika sudah menyangkut mahasiswinya itu.

"Kali ini apa, Zan?" tanya Reza.

"Tadi kebawa emosi karena ada yang ngasih dia bucket bunga yang cukup besar," jawabnya dengan sedikit berbisik.

"Kamu cemburu? Kalau cemburu segera lamar dan nikahi dia."

"Nggak bisa sekarang, kamu tau kan kalau beberapa bulan lagi aku harus meninggalkan Indonesia?"

"Wah, iya juga sih. Tapi kamu bisa bawa dia loh. Gimana?" saran Reza.

"Sebelum bawa dia meninggalkan Indonesia bahkan menikahinya. Aku lebih dulu dibawa bapaknya ke persidangan, Za."

Long Time & Distance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang