Chapter 14 - Don't Be Happier

39 11 7
                                    

Enjoy this chapter^^
Tandai typo

[Chapter 14 – Don’t Be Happier]

Seorang lelaki baru saja menepikan motornya di garasi. Setelah melepas helm, cowok itu segera melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Wanita paruh baya yang tengah duduk di depan televisi langsung menyambutnya dengan hangat.

“Udah pulang, Sa? Gimana sekolah kamu?” tanya Rea pada anaknya, Angkasa.

“Iya Ma, sekolah aku makin lama makin bosenin deh,” jawab lelaki itu.

“Loh, kenapa bisa gitu?” Rea menuntun Angkasa untuk duduk di sofa. Perlakuan wanita itu sangat lembut, berbanding terbalik ketika berhadapan dengan Rere.

“Engga tau, boleh nggak sih aku pindah aja?”

“Pindah apa? Kemana?” Tau-tau Alfaro yang baru memasuki ruang keluarga menyahut. Sontak membuat Rea dan Alfaro menengok ke arahnya. Pria paruh baya itu baru pulang, setelan kerja masih melekat di badan kekarnya.

Rea langsung membantu Alfaro melepas jas pria itu. “Ini mas, Angkasa katanya bosen sama sekolahnya sekarang. Minta pindah dia.”

“Oh, kalau mau pindah sih ya boleh aja, sekarang masih pertengahan semester juga kan ya. Seenggaknya belum ujian kenaikan kelas kan?” Alfaro beralih menatap Angkasa.

“Iya, belum Pa.”

“So, mau ke sekolah mana pindahnya?”

Sejenak Angkasa memperhatikan wajah papa sambungnya. Pria itu sangat baik, tidak pernah sekalipun memperlakukan dirinya dengan asing. Alfaro menyayangi Angkasa sebesar pria itu menyayangi Rere. Pria itu juga sangat loyal, seperti sekarang ketika Angkasa berkata ingin pindah sekolah maka Alfaro langsung mengabulkannya tanpa pikir panjang. Angkasa yakin proses kepindahan sekolahnya akan dipercepat.

Namun entah kenapa hal itu tidak pernah membuat hati Angkasa terbuka untuk melakukan hal yang sama. Karena sebenarnya hanya ada satu papa yang Angkasa sayangi, papa kandungnya. Selama ini remaja itu hanya bersikap normal, tanpa pernah menunjukkan apa yang dia rasakan.

Alfaro tidak akan pernah tahu tanggapan Angkasa terhadap pria itu.

“Kayaknya sekolah Rere bagus, Pa,” kata Angkasa, mendadak sebuah rencana tersusun di kepalanya.

“Sekolah Rere emang bagus, tapi sebenernya sih ada sekolah yang lebih bagus lagi, SMA Rapsodi.”

“Aku pindah ke sekolah Rere aja, biar makin deket juga sama adek aku itu,” alibi lelaki itu.

“Oke, kalau gitu nanti papa bantu urus kepindahan kamu.” Benar kan, Alfaro langsung menyetujui tanpa beban. “Nanti di sana tolong kamu jagain Rere ya, Sa. Dia anaknya memang introvert banget, perilakunya juga agak keras. Ga mudah bagi dia buat nerima orang lain di hidupnya. Jangan nyerah buat deketin Rere ya, papa pengen anak-anak papa akur,” lanjut Alfaro.

Pria itu kemudian menatap Rea yang sedari tadi hanya menyimak. “Kamu juga ya sayang, tolong berusaha lagi buat deket sama Rere. Aku juga mohon maklumin kalau dia kasar, tapi aku jamin kejadian kemarin nggak akan keulang lagi. Besok-besok, kalau Rere chat kasar lagi, bilang aja sama aku.”

“Iya mas.” Rea mengangguk, tapi dalam hati wanita itu tengah mengumpat jengkel. Dia tidak pernah berniat mendekatkan diri dengan anak tirinya.

Meski begitu, ada kepuasan sendiri ketika Alfaro begitu membela Rea dibanding anaknya.

“Ya sudah, sekarang papa ke atas dulu. Kamu juga Angkasa, istirahat dulu nanti makan malam bareng.”

Sesudah Alfaro pergi ke kamarnya, Angkasa juga beranjak menaiki tangga. Kamarnya berada tepat di samping kamar Rere jika kebetulan cewek itu menginap. Angkasa sudah biasa keluar masuk kamar Rere tanpa sepengetahuan orangtuanya, dia bahkan memiliki kunci cadangan kamar Rere.

You Are Worth [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang