Happy reading
•
•
•
[Chapter 30 – Lean On Me]
Pagi hari di rumah sang Papa terasa berbeda bagi Rere. Biasanya dia akan menggunakan kesempatan ini untuk menatap wajah papanya lama-lama. Menebus hari-hari yang terlewat dengan obrolan singkat di meja makan. Dalam dua puluh menit waktu sarapan, Rere selalu aktif berbicara agar perhatian Alvaro hanya tertuju padanya saja.
Dia suka melihat raut wajah masam Rea yang terabaikan. Rere ingin menunjukkan bahwa Alvaro masihlah miliknya, sosok papa yang selalu menyayanginya dalam kondisi apapun.
Akan tetapi sekarang posisi itu menjadi terbalik. Mungkin semenjak Rea hamil, semuanya perlahan berubah bagi Rere. Dengan mata kepalanya sendiri, dia menyaksikan bagaimana papanya menyiapkan susu hamil untuk wanita itu, menyuapinya makan dan memberikan perhatian-perhatian kecil lainnya.
Dua puluh menit yang berharga tiba-tiba menjadi saat-saat paling menyesakkan. Dia bahkan belum sempat mengobrol apapun dengan Alvaro, hanya sapaan selamat pagi yang rasanya hambar sekali.
“Rere kenapa diam terus? Ayo makanannya dihabisin.”
Rere bersumpah bisa melihat seringai kecil Rea ketika bertanya hal tersebut. Kentara sekali wanita itu sedang mengejeknya habis-habisan.
Hal itu membuat selera makan Rere lenyap seketika. Sarapan yang sudah disajikan tidak tersentuh sama sekali. Gadis itu memilih beranjak, mencangklongkan tasnya dan menatap sang papa.
“Pa, bisa anter ke sekolah?”
Ketika Alvaro balik menatap Rere dengan pandangan sendu, saat itu juga Rere menyadari bahwa bukan hanya kebiasaan dan rutinitas pagi yang berubah, tapi juga sosok papa yang dikenalnya. Pria yang selalu memprioritaskan dirinya perlahan semakin menjauh. Tidak peduli seberapa besar usaha Rere untuk terus menggenggam tangan sang papa, nyatanya Alvaro tetap lepas pada orang baru itu.
“Maaf nak, hari ini berangkat sama Angkasa dulu, ya.”
-o0o-
“Gibran goblok, kenapa bolanya malah lo tangkap pake tangan, sih?” Suara Ogi yang bersungut-sungut di lapangan terdengar sampai ke lantai dua, tempat dimana Rere dan Naswa saat ini berada.
Jam istirahat pertama masih berlangsung. Rere dan Naswa berdiri bersisian di tembok pembatas. Pandangan keduanya tertuju pada anak-anak cowok yang bermain sepak bola di bawah sana. Sedangkan dua teman mereka, Sak dan Aeera sedang membeli pulpen di koperasi sekolah.
Tadi pagi, di bawah tatapan merendahkan Rea akhirnya Rere memilih berangkat sendiri. Itu pilihan yang paling bagus daripada harus pergi dengan Angkasa. Kalau mengingat raut wajah wanita ular itu yang penuh kepuasan, Rere jadi ingin mencakarnya sampai berdarah.
“Ini sepak bola hoi bukan basket!”
Seruan dari lapangan kembali menarik atensi Rere, ternyata mereka masih meributkan perkara Gibran yang menangkap bola dengan tangan. Mentang-mentang Gibran anak basket, jadi ketika main sepak bola malah begitu.
“Kocak banget tu orang haha.”
Di sebelahnya, Naswa tertawa sampai memegangi perut. Rere setuju, memang aneh sekali Gibran itu.“Hahaha kocak lo Gib.” Kris ikut menertawakan kebodohan Gibran, bahkan kakak kelas yang menjadi lawan mereka saja ikut tertawa.
“Aduh, ampun euy. Abisnya gue ga fokus diliatin ayang Rere di atas hehe.”
Mendengar pembelaan Gibran, sontak semua mata langsung tertuju pada Rere. Gadis itu balas menatap datar seperti biasa. Jika cewek lain mungkin sudah baper atau salting digoda Gibran, tapi ini Rere.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are Worth [END]
Teen Fiction- Jika dunia dan seisinya merendahkanmu - *** "Menurut lo, orang yang bisanya ngomong jahat dan kasar masih layak disebut manusia? Masihkah orang kayak gitu berharga?" "Lo tau, lo berharga melebihi ribuan alasan." *** Tinggal bersama Mama yang stric...