Chapter 5 - Steal A Candy

57 15 3
                                    

Yooo gw up lagi
Kedepannya gw bakal up sehabis buka puasa atau sebelum sahur yaw

Okeeh vote dulu gengss
Happy reading^^

“Lo maling permen gue, ya, Ae?” Rere berseru kencang usai bel pulang berbunyi. Cewek itu bahkan tidak peduli pada pilihan kosa katanya yang mungkin dapat menyinggung lawan bicara.

Tapi ini Aeera, yang sudah ribuan kali memaklumi tingkah polah Rere. “Kagak ya, gue tadi pagi dah ngomong minta kok.”

“Bukan itu,” serunya lagi.

“Lah terus yang mana?”

Sebelum menjawab Rere berdecak kesal. “Tadi gue ngeluarin permen waktu beres-beres buku. Sekarang udah ilang.” Kalau bukan karena permen, malas sekali Rere berbicara panjang begini.

“Sak lo tau nggak?” Aeera bertanya pada Sak.

“Yo ndak tau, kok nanya saya,” jawab Sak dengan gaya menyebalkan, sangat minta ditampol memang.

“Jatuh kali, Re, kesenggol atau gimana gitu. Tadi lo taruh di meja kan pas lagi beresin buku? Coba liat bawah, ada nggak?” Naswa coba memberi saran.

Keempat cewek itu kompak membungkuk dan mencari permen yang hilang di bawah meja. Namun setelah celingak-celinguk tetap saja keberadaan makanan manis satu itu tidak nampak wujudnya.

“Huh nggak ada, diambil setan kali,” canda Sak yang lantas tertawa bersama Aeera.

“Iya Re, nggak ada, udahlah nanti beli aja lagi.” Naswa juga menyerah mencarinya.

Rere mau tak mau akhirnya mengangguk juga. Mulutnya terasa kosong sekarang, dia seperti sudah kecanduan permen saja. Sekali tidak menemukan benda itu, tubuhnya langsung terasa aneh. Rere tidak tahu harus menyumpal mulutnya dengan apa. Sayang sekali permen yang hilang itu adalah permen terakhir yang dibawanya.

Biasanya Rere selalu membawa lima permen lollipop ke sekolah, begitupun dengan hari ini. Dua permen sudah dia makan, dua lagi diambil oleh Aeera dan Sak, lalu satu permen terakhir malah raib entah kemana.

“Sak buruan elah beresin bukunya, lo nih selalu aja lambat kalau beresin buku. Orang mah kalau mau pulang ya buru-buru gitu,” ujar Naswa.

“Bentar elah, Wa.”

Rere, Naswa dan Aeera menunggu Sak membereskan bukunya untuk kemudian pergi ke gerbang bersama.

Sedangkan di sisi lain, tepat di parkiran motor, terdapat tiga lelaki yang tengah berusaha mengeluarkan motor mereka dari barisan motor yang begitu padat. Ketika mereka berhasil mengambil motor masing-masing, salah seorang diantara mereka berseru pada temannya.

“Oi, Gib, lo punya permen nggak bagi-bagi yaa, kasih dong sohibnyaa.” Kris mendelik pada Gibran yang sudah duduk manis di motornya, hanya saja belum mengenakan helm.

“Dapet dari mana?” Kini Reza yang bertanya.

“Oh, ini tadi ada di bawah mejanya si Rere, gue ambil aja deh.”

“Oh jadi elo setannyaaaa,” pekik Sak yang datang bertepatan dengan Gibran bicara. “Rere Rereee ini setan yang maling permen lo Re, ini biang keroknya.” Sak dengan heboh mendorong-dorong pundak Gibran.

“Lah lah.” Gibran yang tengah bingung nyaris saja jatuh terjengkang dari motornya.

Mendadak lelaki itu merasakan aura gelap yang begitu pekat di dekatnya. Begitu menoleh, dapat dia lihat Rere bersedekap dengan wajah suram. Ternyata aura gelap itu berasal dari Rere, Gibran menelan ludah kasar, firasatnya memburuk.

“Lo! Beraninya lo maling permen gue,” desis Rere geram. Sak, Aeera, Naswa, Kris dan Reza memperhatikan dalam diam. Sebenarnya Kris, Sak dan Aeera ingin sekali tertawa melihat Gibran yang gugup begitu. Tapi situasinya tidak mendukung.

“Apa lo sebegitu miskin sampe ngambil permen gue, hah?”

Oke, sekarang mulai tidak terasa lucu lagi. Kosa kata Rere terdengar tidak enak. Kini Sak serta yang lainnya juga ikut tegang menonton aksi Rere.

Di sisi lain, Gibran terkekeh sinis, merasa tersinggung. Maksudnya, mereka kan sudah nyaris dua tahun menjadi teman sekelas, kenapa cewek itu tidak mengerti kata bercanda dan malah membesar-besarkan masalah?

“Lo kok ngomongnya gitu sih, Re? Wajar kan kalau sesama temen sekelas itu bercanda kayak gini? Lagian yang gue ambil kan cuma permen, kok sebegitu sewotnya sih?”

Ini dia masalahnya, Rere itu bukan tipe orang yang bisa diajak bercanda seperti tiga sahabatnya. Rere adalah Rere, si ambis yang selalu serius, kaku, bermulut pedas, dan tidak mengerti candaan semacam itu.

Mirisnya, orang-orang masih saja tidak mengerti diri Rere.

“Lo nggak ngerti apa-apa, jangan bacot!” Rere tidak suka ketika Gibran mempertanyakan sikapnya yang selalu sinis.

“Ya udah, sekarang lo maunya apa? Mau permen ini? Nih, gue balikin.” Gibran dengan bodohnya menyodorkan permen bekas mulutnya.

Rere mengeryit jijik. “Ga sudi, permennya bau sampah, busuk, sama kayak lo! Buang aja sana, sekalian sama badan lo juga,” tandas Rere yang kemudian melenggang pergi menuju mobil Naswa setelah merebut kuncinya dari yang punya. Rere tidak bawa mobil karena diantar oleh Angkasa pagi tadi, karena itu dia memilih numpang pada Naswa.

“Oi, Reeee tungguin elah.” Naswa berdecak. “Lo berdua mau bareng gue atau nggak?” tanya cewek itu pada Sak dan Aeera.

“Sak pulang bareng gue,” jawab Kris.

“Kalau gue sama Reja ajaa,” sahut Aeera dengan cengiran lebar.

Naswa memutar bola mata malas mendengar jawaban Aeera. “Ya udah kalau gitu, gue pulang duluan ya. Gue takut si Rere bawa kabur mobil gue. Bisa bahaya, nanti gimana caranya gue pul-“

“Iyaa, Wa, iyaa, udah sana pulang, jangan bawel terus. Nanti beneran ditinggal tau rasa lo,” potong Aeera yang sudah tidak sanggup mendengar ocehan Naswa.

Selepas kepergian Rere dan Naswa, suasana menjadi hening selama beberapa saat.

“Ih, gue makin nggak paham sama si Rere,” ujar Gibran. Dia akui kalau dirinya memang  penasaran dengan gadis itu, tapi di sisi lain Gibran juga merasa tidak siap menghadapi lidah tajam Rere.

“Rere bikin bingung kan, Gib?” Sak menoleh pada Gibran, yang lantas diangguki oleh cowok itu. “Dia itu kayak pengen dimengerti, pengen orang-orang menerima sifat dia yang kayak gitu. Tapi, waktu kita berusaha nanya kenapa sifat itu muncul, Rere malah nggak mau bicara, seolah nggak mau kita tau asal muasal kelakuan dia. Padahal kita perlu tahu alasan Rere, biar kita bisa maklumin tingkah dia.”

“Loh, lo nyadar hal itu juga Sak?” Gibran menatap Syakira takjub.

Cewek bersurai blonde itu meloloskan tawa kecil. “Itu juga yang gue rasain pas ketemu dia pertama kali di SMP.”

“Ohh gitu, tapi pada akhirnya lo bisa sedeket itu sama Rere sekarang, malah kayak biasa aja pas Rere ngomong kasar.”

“Karena gue udah tau alasannya, Gib. Gue tau cerita Rere. Nah, kalau lo penasaran juga dan pengen tau, lo harus nyiapin mental yang kuat, sama stok sabar yang banyak.”

“Bener tuh, gue inget dulu di SMP si Sak ngedeketin Rere ratusan kali dan selalu ditolak, dikata-katain, dimaki-maki, ahh yaa gitu deh. Sohib gue ini tahan banting banget pokoknya.” Aeera merangkul bahu Syakira dan melakukan tos dengan cewek itu.

Gibran termenung, berusaha mencerna penjelasan Sak dan Aeera. Setelah mendengar kalimat Sak, Gibran malah semakin penasaran dengan kehidupan Rere. Termasuk soal permen barusan. Gibran jadi berpikir, jangan-jangan ada momen tak terlupakan yang berkaitan dengan permen, yang terjadi di hidup Rere. Kalau begitu pantas saja Rere begitu uring-uringan ketika permennya hilang.

Sepertinya Gibran harus mulai menyiapkan mental dan stok sabar yang banyak.

===

Huhuuu gaje banget part ini:'(

Dahlah, sampai jumpa di next chapter 👋👋

You Are Worth [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang