Happy reading, jangan lupa vote :')
•
•
•
“Lo tau, lo berharga melebihi ribuan alasan.”
Rere tidak tahu Gibran mengatakan hal itu dengan sungguh-sungguh atau hanya ingin menenangkannya saja.
Gadis itu tidak mampu berpikir jernih, dunianya seperti runtuh setelah sang papa memberikan tatapan kebencian. Semuanya menjadi tidak berarti, Rere sempurna kehilangan gairah hidupnya. Itulah mengapa dia nekat hendak melompat di tengah jalan tadi. Andai Gibran tidak mencegah, dia pasti sudah berdarah-darah, parahnya mungkin berpindah ke alam lain saat ini.
Itu lebih baik, daripada harus menerima kebencian Alvaro.
Beberapa saat lalu, usai memeluknya dengan erat, Gibran membawa Rere ke mobilnya. Dia tidak punya ide hendak dibawa kemana, Rere hanya terus mengekor tanpa mengeluarkan suara. Jelas sekali pikirannya tidak ada di tempat, hal itu membuat Gibran menjadi tidak tenang.
Sepanjang perjalanan dia menyetir dengan satu tangan, sebelah tangannya lagi terus menggenggam Rere. Dingin, nyaris tidak terasa kehangatan di tangan cewek itu. Sesekali Gibran mengeluarkan suara untuk membuka obrolan, namun berujung dengan dia berbicara sendiri.
Helaan nafas berat lolos dari celah bibir Gibran. Kejadian ini begitu cepat, terlalu tiba-tiba dan tidak disangka. Padahal sore tadi mereka masih bersama, Gibran menjemput Rere di sekolah setelah pulang dari Jerman, lalu mereka mengelilingi kota dengan mobil ini. Tetapi setelahnya … takdir benar-benar tidak ada yang tahu.
Setelah beberapa saat berkendara, mobil akhirnya tiba di rumah Gibran. Cowok itu menoleh pada Rere yang terus menatap ke luar jendela, seperti tidak menyadari mobil sudah berhenti.
“Re,” panggilnya lembut. “Hey, look at me.”
Gibran membingkai kepala Rere, mensejajarkan wajahnya dengan gadis itu. Bola mata Rere benar-benar hitam pekat, semakin Gibran lihat semakin dia terseret dalam kegelapan di dalamnya. Tidak ada binar, pun tidak ada pantulan dirinya di netra itu, kosong. Dia tidak menyukai tatapan Rere saat ini.
Lelaki itu pun kembali menarik Rere dalam dekapannya, memeluk erat perempuan cantik yang kini sedang rapuh.
“It’s okay, semuanya bakal baik-baik aja,” bisik Gibran. “Sekarang istirahat dulu di rumah gue, ya.”Dia lantas mengajak Rere untuk turun, tapi Rere hanya bergeming sambil menatap ke luar. Mengikuti arah pandangnya, Gibran mendapati ayah dan ibunya sedang menunggu di luar pintu.
“Itu orangtua gue, tenang aja mereka baik kok.”
Melihat tatapan Gibran yang begitu tulus dan penuh kesabaran, Rere akhirnya mengangguk patah-patah, bersedia untuk turun. Dia terus bersembunyi di belakang tubuh Gibran, memegang ujung baju lelaki itu dengan erat. Andai situasinya lebih baik, Gibran pasti memekik gemas akan kelakuan Rere sekarang.
Gibran memperkenalkan Rere pada orangtuanya, menjelaskan secara singkat apa yang terjadi tanpa menyinggung masalah Rere, sebab dia pun belum mendengar detail kejadiannya. Baik ayah maupun ibu Gibran menyambut Rere dengan tangan terbuka. Ini memang pertemuan pertama mereka, tapi keduanya sudah mengenal Rere lewat cerita-cerita Gibran.
Sejujurnya, Rere merasa tidak percaya diri. Alisa selalu membiasakan Rere untuk tampil sempurna jika bertemu orang baru. Menanamkan pemikiran bahwa dia hanya akan diterima kalau memiliki visual paripurna saja. Rere hanya akan direndahkan jika berpenampilan serampangan.
Gadis itu pun sempat berpikir demikian saat menatap orangtua Gibran, mengingat sekarang keadaannya jauh dari kata cantik dan rapi. Wajah pucat tanpa make up, bibir kering pecah-pecah, mata bengkak sayu, rambut lepek berantakan dan pakaian kusut. Ini adalah penampilan terburuk Rere. Kepercayaan dirinya merosot ke titik terendah.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are Worth [END]
Teen Fiction- Jika dunia dan seisinya merendahkanmu - *** "Menurut lo, orang yang bisanya ngomong jahat dan kasar masih layak disebut manusia? Masihkah orang kayak gitu berharga?" "Lo tau, lo berharga melebihi ribuan alasan." *** Tinggal bersama Mama yang stric...