Happy reading ^^
•
•
•
Malam semakin larut, tapi Gibran tengah di luar berkumpul dengan teman-temannya. Mereka membahas tentang misi yang disebut oleh Sak sore tadi, yaitu misi untuk menyadarkan orangtua Rere.
Selama ini perempuan itu jarang sekali meminta bantuan, Rere selalu menyelesaikan banyak hal sendiri. Kali ini Sak dan yang lain ingin mengulurkan tangan, mereka akan ikut campur tidak peduli dibilang lancang atau berlebihan. Mereka hanya ingin membuat Rere tersenyum lebih banyak. Wajah cantik Rere terlalu sia-sia jika hanya menampilkan ekspresi datar dan dingin saja.
Untuk menjalankan misi ini, mereka berpencar menjadi dua tim. Gibran, Sak dan Naswa bertugas berbicara dengan mama Rere. Mereka akan mengatakan semua hal tentang apa yang selama ini Rere rasakan. Berharap semoga saja kalimat mereka nanti bisa mengetuk hati mama Rere. Membuat wanita paruh baya itu setidaknya bisa melunak dan bersikap lebih baik pada Rere.
Kemudian sisanya, Aeera, Kris, Reza dan Ogi akan menuju rumah sakit untuk berbicara dengan Rea dan papa Rere. Mereka harus bertanya langsung pada Rea tentang apa yang sebenarnya terjadi hari itu. Juga meyakinkan papa Rere kalau bukan Rere lah penyebab Rea jatuh hingga keguguran.
Usai pembagian tugas, mereka bergegas pergi ke tempat tujuan. Kini Gibran, Sak dan Naswa sudah tiba di rumah Rere. Keadaan sekitar begitu gelap dan hening, sinar rembulan tidak membantu banyak, rumah besar yang ada di depan mereka tetap saja terlihat suram.
“Bjir, sejak kapan rumah Rere jadi horror begini?” celetuk Sak.
“Iya, mana sepi lagi. Ni jangan-jangan nggak ada orang,” timpal Naswa, menatap sekeliling yang benar-benar tidak ada siapapun selain mereka. Bahkan satpam yang biasa menjaga rumah Rere pun tidak terlihat.
“Pencet bel dulu lah coba.”
Gibran mengangguki perkataan Sak, lelaki itu maju dan menekan bel rumah beberapa kali. Akan tetapi tidak ada sahutan dari dalam, pun setelah dia mencoba mengetuk dari pelan sampai keras, tidak ada balasan sama sekali.
“Duh, kayaknya mama Rere masih di kantor deh.”
“Kita tunggu aja,” putus Gibran tanpa pikir panjang. Walaupun dia tidak tahu kapan mama Rere pulang, tapi lelaki itu tetap akan menunggu.
Sak dan Naswa saling lirik sebelum akhirnya ikut mengangguk. Dalam hati, mereka cukup terkejut melihat sisi Gibran yang seperti ini. Laki-laki itu terlihat begitu serius, seolah benar-benar ingin menyelesaikan masalah Rere segera.
Yeah, sedikit banyak Sak dan Naswa tahu alasan Gibran bersikap demikian. Cowok itu pasti merasa bertanggung jawab, karena dialah yang pertama kali menawarkan Rere untuk bermain di sela-sela jam les.
Sedangkan di sisi lain, jauh dari kediaman Rere, tepat di parkiran salah satu rumah sakit, Aeera tengah misuh-misuh tidak jelas. Sebenarnya gadis itu sempat protes ketika pembagian tugas, dia sebal tidak diajak oleh Sak dan Naswa. Tapi sayang tidak ada yang mendengar protesannya, mereka terus-terusan bilang kalau Aeera cocoknya menghadapi mama tiri Rere. Alhasil dia jadi uring-uringan sendiri.
“Jangan ngomel terus, Ae, nanti capek.” Reza dengan lembut mengelus puncak kepala Aeera, menegur dengan halus pacarnya yang dari tadi tidak bisa diam.
“Gue jadi lo sih udah jual si Aeera, Ja, berisik banget bjirr.”
“Asliii, sakit kuping gue.” Kris menimpali kalimat Ogi, membuat gerakan mengorek kuping seakan telinganya benar-benar terganggu oleh suara Aeera.
“Bacot lo berdua!” Aeera melotot, tidak terima.
“Lah, dari tadi yang bacot siapa coba?”
“Dahlah Gi, nggak akan pernah menang kita lawan cewek.”
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are Worth [END]
Teen Fiction- Jika dunia dan seisinya merendahkanmu - *** "Menurut lo, orang yang bisanya ngomong jahat dan kasar masih layak disebut manusia? Masihkah orang kayak gitu berharga?" "Lo tau, lo berharga melebihi ribuan alasan." *** Tinggal bersama Mama yang stric...