Happy reading 😊
•
•
•
"Katanya keluar beli martabak, tapi kok lama banget, melipir kemana sih dia?"
Rere terus bergumam sambil menatap ke arah pintu.Usai mengobrol dan menangis di pelukan ibu Gibran, gadis itu masih duduk di ruang tengah. Meski sudah disuruh untuk masuk kamar dan istirahat, Rere tetap menggeleng. Ingin menenangkan diri sambil lanjut melihat-lihat foto dalam album katanya, padahal alasan lainnya karena hendak menunggu Gibran.
Ada sesuatu yang ingin Rere tanyakan sekaligus pastikan.
Atensi gadis itu kembali terpusat pada album di pangkuannya. Menatap lekat pada salah satu foto di sana. Foto Gibran saat masih TK, anak itu tampak berdiri di lapangan sambil tersenyum lucu dan menunjukkan pose dua jari.
Namun fokus Rere tidak hanya pada Gibran kecil, melainkan pada anak perempuan yang tidak sengaja masuk frame. Anak perempuan dengan rambut di kepang dua yang sedang tertawa itu tidak lain adalah dirinya sendiri.
Saat pertama melihat foto itu diantara foto-foto dalam album, Rere terkejut sampai kehilangan kata-kata. Bagaimana mungkin dirinya semasa kecil ada dalam satu frame dengan Gibran? Tidak pernah dia bayangkan ada kebetulan semacam ini. Ingatan Rere soal masa TK agak samar, dia mengingat beberapa momen tapi lupa pada nama teman-temannya.
Ceklek
Mendengar bunyi pintu terbuka dan tertutup, Rere otomatis menoleh ke asal suara. Gadis itu melihat punggung seseorang berbalut jaket yang ia kenal. Tak menunggu waktu lama, Rere bergegas bangkit dan melangkah cepat ke arah pintu.
"Astaga!" Gibran memekik saat baru saja berbalik langsung mendapati sosok Rere. Langkah gadis itu tidak terdengar sama sekali, membuat jantungnya nyaris jatuh ke perut.
"Belum tidur, Re?" Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat. Gibran pikir Rere sudah masuk kamar, sehingga dia tidak usah repot memikirkan alasan terlambat pulang. Namun ternyata dugaannya salah, lelaki itu hanya meringis melihat tatapan Rere yang menuntut penjelasan.
"Kok lama?"
Gibran nyengir. "Iya sorry, pasti lo kangen banget ya sama gue."
Pernyataan yang terlalu narsis itu membuat Rere mendengkus. "Pede banget,” cibirnya. “Ada yang mau gue tanyain tau.”
“Oh ya, apa tuh?” Gibran bertanya sambil merangkul Rere, menggiring perempuan itu untuk duduk di sofa ruang tengah. Mereka harus mengobrol, sama seperti Rere Gibran juga ingin menyampaikan sesuatu.
“Lo tau nggak, ternyata kita pernah satu TK. Gue kaget banget waktu liat foto ini.” Rere menunjukkan foto masa kecil Gibran. “Ini, anak cewek ini gue loh.”
Gibran ikut menatap foto yang ditunjuk Rere, tapi bukannya fokus pada gambar dia malah salah fokus pada gaya bicara Rere yang lucu. Perempuan itu seperti benar-benar takjub dan tidak menyangka pada kebetulan ini. Dan reaksi Gibran yang tidak sekaget bayangannya membuat Rere bingung.
“Lo udah tau soal ini?” tebak gadis itu.
Akan tetapi Gibran menggeleng sambil tersenyum, lelaki itu menatap Rere dengan teduh. “Gue juga baru tahu hari ini, tepatnya beberapa jam lalu.”
“Maksudnya?”
Hela nafas panjang lolos dari bibir Gibran. “Sebenernya tadi gue nggak cuma beli martabak, tapi mampir dulu ke tempat lain.”
Rere sudah menduga hal itu, dia melihat barang bawaan Gibran bukan hanya bungkusan martabak, tapi cowok itu juga menggendong tas sekolah Rere. Dari situ saja sudah ketahuan kemana Gibran melipir hingga memakan banyak waktu. Hanya saja Rere tidak tahu apa korelasi fakta itu dengan topik sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are Worth [END]
Teen Fiction- Jika dunia dan seisinya merendahkanmu - *** "Menurut lo, orang yang bisanya ngomong jahat dan kasar masih layak disebut manusia? Masihkah orang kayak gitu berharga?" "Lo tau, lo berharga melebihi ribuan alasan." *** Tinggal bersama Mama yang stric...