Happy reading ^^
•
•
•
[Chapter 32 – Never Be The Same]
“Ternyata kita sama ya, Re.”
Rere sama sekali tidak mengerti maksud perkataan Delta. Perempuan itu menoleh dengan alis yang terangkat sebelah. Apanya yang sama?
“Engga.”
Delta melengos, tidak berniat memberikan penjelasan lebih lanjut. Hal itu membuat Rere mendengkus, kesal karena merasa dipermainkan. Perempuan itu pun kembali menekuri latihan soal di depannya. Namun hal itu hanya berlangsung selama beberapa saat karena dia tiba-tiba mendapat telepon dari mamanya. Mungkin karena Rere tidak lekas membaca pesan tadi, Alisa langsung menelepon.
Awalnya Rere hendak mengabaikan panggilan tersebut, tapi sepertinya itu ide buruk. Dia sudah menghilang dari kemarin, tidak memberi kabar apapun pada Alisa, selain mengatakan akan menginap di rumah papa—yang jelas-jelas tidak jadi. Mamanya, mungkin juga menaruh sedikit khawatir kan?
“Gimana persiapan olimpiade? Lancar?”
Akan tetapi, sepertinya harapan Rere terlalu muluk-muluk. Detik itu juga dia merutuki dirinya, mengapa ada orang bodoh seperti Rere? Keledai saja tidak jatuh pada lubang yang sama, tapi Rere malah dengan suka rela menjatuhkan dirinya sendiri, berkali-kali pula. Sudah tahu mamanya tidak akan peduli, bisa-bisanya masih berharap.
“Hm, lancar.”
Beruntung dia menjawab telpon tidak di depan Delta, melainkan di toilet yang persis berada di sebelah perpustakaan. Dengan begini, cowok itu tidak akan melihat wajah menyedihkan Rere.
“Baguslah, seperti yang mama bilang di chat, mama udah geser jadwal les kamu yang lain. Sampai hari H olimpiade, kamu cukup les matematika aja.”
Suara Alisa menggema ke seisi toilet, Rere sengaja menyalakan loud speaker dan menaruh ponselnya di dekat wastafel. Sementara itu dirinya justru bersandar pada dinding dan menatap langit-langit, menerawang banyak hal.
Apa Alisa tidak penasaran dirinya betulan menginap di rumah sang papa atau tidak? Bagaimana reaksi wanita itu jika tahu kalau semalam Rere menginap di rumah Gibran, teman cowoknya. Yang mana hanya ada mereka berdua di rumah itu sebab orangtua Gibran tengah keluar kota.
Lagi-lagi Rere menyadari dirinya tidak seberharga itu, mamanya hanya peduli pada akademik dan penampilan Rere saja. Tidak pada hatinya, tidak pada perasannya, pun tidak pada hal-hal kecil lainnya.
“Kamu harus juara satu, jangan kecewakan mama.”
“Mama sudah lakukan banyak hal buat kamu.”
Buat kamu? Entah Rere sudah berapa kali mendengar kalimat itu dari Alisa. Wanita itu tetap tidak mengerti apa yang sebenarnya Rere butuhkan.
“Itu aja, ingat pesan mama.”
Tut
Sesaat setelah sambungan telepon terputus, toilet itu menjadi hening, lengang dengan aura yang begitu dingin. Rere menghela nafas panjang, lantas menghadap cermin besar yang memantulkan wajahnya. Perempuan itu menyalakan keran, membiarkan air meluncur dengan deras untuk meredam tetes demi tetes yang keluar dari matanya.
Sepertinya … Rere mulai merasa lelah. Hari itu dia mulai menyadari semua yang telah dilakukannya sama sekali tidak berarti. Rere meluapkan perasaannya, menunjukkan sisi paling rapuh yang tidak pernah orang lain tahu. Tanpa menyadari, tepat di depan pintu seseorang menyaksikan semua. Sedari awal, mulai dari telpon mama Rere hingga detik dimana isakan cewek itu beradu dengan suara air dari wastafel.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are Worth [END]
Teen Fiction- Jika dunia dan seisinya merendahkanmu - *** "Menurut lo, orang yang bisanya ngomong jahat dan kasar masih layak disebut manusia? Masihkah orang kayak gitu berharga?" "Lo tau, lo berharga melebihi ribuan alasan." *** Tinggal bersama Mama yang stric...