Pertanyaan spontanku tak mendapat jawaban apapun dari Abang yang tadi hanya tersenyum sepintas. Dengan masih dalam keadaan terkejut dan bertanya-tanya mengapa aku dibawa ke studio foto, aku keluar dari dalam mobil.
"Ayo!" ajak Abang tapi aku tak bergerak barang secuil pun.
Sedari tadi aku menahan kekalutanku untuk bertemu keluarganya tapi kenapa aku dibawa kemari? Masa iya ini tempat pertemuannya? Studio foto, seperti mau pemotretan saja! Mana Abang diam saja lagi. Seperti tidak ada niat untuk menjawab pertanyaanku tadi. Abang ngeselinn!
"Lin, ayo!" Aku pasrah saja saat tanganku digenggam dan digandeng masuk kedalam tempat tersebut.
"Abang, please jelasin kenapa kita ke sini? Katanya mau ketemu keluarganya Abang."
Abang menoleh, "iya nanti ketemu." Sudah begitu saja jawabannya. Abang benar-benar kembali ke setelan pabrik. Aku sudah tak bertanya lagi. Sampai pada langkah Abang berhenti di sebuah ruangan yang sudah di dekor indah dengan kursi di tengahnya. Keluarga Abang mau foto studio? Kalo iya, kenapa aku diboyong ke sini juga? Ngapain?
Kami duduk di sofa yang ada disudut ruangan. Abang fokus dengan ponsel di tangannya yang kayanya sedang membalas pesan seseorang. Karena aku percaya Abang, jadi tak terlalu memikirkan itu. Aku bingung hendak melakukan apa, malas juga untuk sekedar membuka ponsel. Jadilah aku mengamati seisi ruangan ini.
Sepertinya keluarga Abang memang mau foto studio. Dilihat dari dekornya seperti tidak asing, aku sering melihat postingan keluarga militer yang melakukan foto studio dengan konsep dan dekor yang seperti ini. Mendadak aku yang menjadi tak sabar melihat Abang nanti diarahkan untuk bergaya, cielah Bang ...
"Jaket Abang yang dulu itu masih di aku tau Bang. Tapi aku lupa nggak dibawa."
"Simpan kamu aja, nggak usah dibalikin," jawab Abang yang kini tampil sempurna dengan seragamnya yang ngetat parah setelah tadi jaketnya ditanggalkan. Rasanya kalau sudah melihat Abang dengan seragamnya ini, mataku tak bisa menatap yang lain. Terlalu sempurna dan akan menjadi sia-sia jika tak dipandang.
"Serius Bang?" Abang mengangguk, "wahh, makasih ya Bang ... kebetulan juga tuh belum aku cuci sama sekali. Eh ... jangan mikir aku jorok ya Bang, tau nggak alasannya apa?"
Abang menggeleng lucu.
"Biar aroma parfumnya Abang nggak hilang. Jadi kalo nanti kita nggak ketemu, terus aku kangen Abang jadi deh aku pakai jaketnya." Mendengar alasanku Abang sempat terdiam. Tapi tak bertahan lama karena setelah itu Abang tersenyum manis sekali sambil mengusap rambutku.
Jantung lo aman kan di dalam? Please, jangan loncat keluar. Nggak lucu!
"Ekhem! Lagi ngapain kamu, Dek?"
Kami langsung menoleh menuju sumber suara yang mengagetkan aku dan Bang Tian. Ya Tuhan, jantungku benar-benar seperti akan melompat. Bukan karena si Abang lagi, tapi karena seseorang itu yang tiba-tiba bersuara. Aku tak tahu laki-laki itu siapa. Tapi kalau dengar ucapannya tadi, sepertinya dia kakaknya Bang Tian. Tentara yang memakai seragam lorengnya –namun dilapisi jaket– berjalan dengan gagah menghampiri kami.
"Udah lama, Dek?" tanyanya pada Abang. Fiks, ini Kakaknya Abang. Melihat wajahnya yang sama tampannya seperti Abang, juga perawakannya, warna kulitnya ... aku yakin gen yang dihasilkan dari orangtuanya termasuk gen yang bibit unggul.
"Nggak gitu lama, Bang. Abang sendirian aja nih?" Abang celingukan seperti mencari seseorang.
"Iya," Kakaknya Abang itu menatap ke arahku. Aku tersenyum sambil mengangguk kecil, "ini Raline ya?" tanyanya yang sempat membuatku terkejut (lagi). Bagiamana dia bisa tahu namaku padahal aku belum memperkenalkan diriku? Dan sepertinya Kakaknya Abang ini bisa membaca pikiranku hingga memberi alasan kenapa tahu namaku, "Abangmu yang ngasih tau. Saya Fernando Nasution Wiryadinata, Kakaknya Abang kamu. Panggil aja Bang Nando."
KAMU SEDANG MEMBACA
Raline & Loreng
General Fiction"Gue tau jodoh udah ada yang ngatur, tapi kalo boleh minta, gue pengen jodoh gue tentara. Yang tinggi, gagah, ganteng, pundaknya lebar, boleh nggak sih?" Raline Trivira Matsutomo, 2022.