Part 36

2.3K 124 1
                                    

Sekarang kuakui jika insting orang tua—terlebih ibu kepada anak-anaknya begitu kuat. Bahkan saat si anak tak mengatakan langsung apa yang sebenarnya terjadi pun, dengan kekuatan insting juga ikatan batin membuat seorang ibu selalu tahu apapun keadaan yang tengah dialami anaknya.

Iya, maksudku ini tentang aku dan Abang. Tentang hubunganku kemarin dengan Abang yang agak renggang. Ibu tiba-tiba menyinggung hal itu ketika kami hanya berdua di dapur.

"Kemarin itu, Dek Raline sama Bang Tian sebenarnya kenapa? Ibu tanya begini, bukan maksud ibu mencampuri urusan kalian, Ibu cuma nggak mau, Dek Raline dan Abang saling jauh seperti itu."

"Abang cerita ya sama ibu?" tanyaku saat itu. Meski dalam hati kurang yakin dengan pertanyaan yang kulayangkan itu.

Dengan senyum khas seorang ibu, Ibu Abang itu menggeleng, "Abang nggak cerita sama Ibu. Tapi tingkah lakunya menjawab semua kecurigaan ibu. Dan ibu yakin kalian lagi nggak baik-baik aja. Kenapa? Apa Bang Tian nyakitin Dek Raline? Cerita sama ibu ..."

"Abang nggak pernah nyakitin Raline, Ibu ... Abang selalu baik sama Raline, selalu ngertiin Raline. Cuma kemarin emang ada salah paham sedikit. Tapi, sekarang kita udah baik-baik aja ibu ..." jawabku. Merasa soal senior Abang yang menyukaiku tidak perlu diceritakan pada Ibu.

"Syukurlah kalau seperti itu." Aku mengangguk. Ibu lantas melanjutkan kalimatnya, "salah paham kadang memang selalu ada dalam setiap hubungan. Tapi, salah paham itu bisa dicegah dengan saling percaya. Dek Raline harus percaya Bang Tian, begitupun Bang Tian ke Dek Raline. Jangan saling menyembunyikan sesuatu. Dan yang paling penting komunikasi. Ibu harap Dek Raline dan Bang Tian bisa jaga tiga hal tadi. Jangan sampai hal sepele buat kalian jadi nggak akur."

"Intinya Ibu minta tiga hal itu dijaga. Ibu nggak minta yang lain-lain. Ibu juga ngerti Dek Raline masih awam sama dunia militer, jadi tentu ada beberapa hal yang beda dari kehidupan sipil Dek Raline. Pasti susah adaptasinya, ya? Tapi, Ibu yakin Dek Raline bisa lewati semuanya. Bareng-bareng sama Bang Tian."

Aku mengangguk, dan entah berapa banyak syukur yang diam-diam kuucapkan dalam hati atas dipertemukannya aku dengan Abang dan keluarganya yang begitu menyayangiku.

"Raline boleh peluk ibu?"

"Sini, Nak."

Kupeluk erat ibu dengan perasaan bahagia, "Doain kami juga ya, Bu, biar selalu dikuatkan dengan apapun yang terjadi ke depannya nanti. Semoga Raline sama Abang bisa lewati semuanya."

Aku masih tidak menyangka kehadiranku di tengah-tengah keluarga ini diterima dengan tangan terbuka. Entah hal baik apa yang pernah kulakukan yang membuatku mendapatkan semua hal ini. Atau mungkin aku harus berterima kasih kepada Abang karena telah memilihku menjadi kekasihnya sehingga memperkenalkan aku dengan keluarga baiknya ini?

Tanpa sadar aku tersenyum memikirkan hal itu.

"Mikirin aku ya senyum-senyum gitu?"

Si Abang datang dengan pertanyaan super pede yang sialnya benar sekali. Aku mengangguk saja karena apa gunanya mengelak? Jika kenyataannya seperti itu adanya.

"Beneran mikirin aku? Sampai senyum-senyum sendiri gitu. Wah ... jangan-jangan kamu mikir yang aneh-aneh lagi."

"Ihh nggak ya, ngaco Abang," elakku.

"Terus mikirin apa kalau boleh tahu?"

"Sayangnya Abang nggak boleh tahu tuh!" Lalu kulanjutkan kegiatanku mencuci piring yang sempat tertunda karena memikirkan pembicaraan dengan Ibu dan soal Abang tadi.

Raline & LorengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang