Wih tetangga baru kita siapa ya? Kodenya cowok nih!
*****
Jika digambarkan bagaimana suasana saat ini, mungkin ini benar-benar suasana yang sangat menyedihkan. Awan hitam masih menyapa sejak semalam, seakan warna putih itu tak ada lagi. Rintik terus jatuh membasahi setiap makhluk maupun benda, gemuruh bahkan masih menyapa. Alam seakan menemani setiap tangisan, seakan ingin berkata; turut berduka cita. Parahnya lagi, mentari tak ingin hadir. Mungkin alasannya sederhana, tak ingin ikut menangis. Atau bahkan, ia tak pantas hadir sebab pelangi akan ikut datang bersamanya nanti. Ah.. sungguh memalukan! Bisa-bisanya ia bersinar terang saat tangisan kian bersahutan.
Jangan lupakan sang angin, ia terus datang untuk menyapa 'ingin' yang akan menjadi 'angan'. Seakan datang untuk berziarah, sambil membawa kenangan yang tak mungkin bisa dilupakan.
Biar ku abadikan, kuburan dengan bunga yang bertaburan, baju hitam dari sekumpulan orang, tangisan yang bersahutan, penyesalan yang tak kunjung usai, kata maaf yang takkan terbalas maupun terdengar, ucapan terima kasih karena telah hadir yang digemakan, atau penghormatan lainnya, seperti; usapan lembut untuk sang anak gadis yang kini tinggal sebatang kara.
Netranya masih menatap lekat tanah yang masih basah itu, tangannya dengan lembut masih mengusap kayu yang ditancap, orang sering menyebutnya, nisan...
"Ran, sebentar lagi hujannya makin deras" Zuhra memberanikan diri, ia memang belum merasakan hal yang sama. Tapi membayangkan hal itu saja, membuat air matanya seperti air terjun Niagara atau hujan semalam yang mengguyur Kompleks Cakrawala.
"Bisa tolong tinggalin gua sendiri? Sebentar aja, gua mohon.." lirih Rana dengan wajah pucat pasi, ia tak makan sejak semalam.
Zuhra, Ara, Shana, Rana, Andi dan jangan lupakan Arya. Mereka lantas memberikan Rana sedikit ruang, menuju mobil yang terparkir. Hanya ada mobil mereka, sebab orang tua yang lain sedang mengurus acara tahlilan malam nanti. Ah.. tunggu! Ada sebuah motor?
"Arkan disini?" Tanya Andi menatap sekitar
"Gua gak tau" balas Zuhra sambil melirik motor hitam itu, motor yang biasa Arkan gunakan untuk balapan.
Lupakan tentang mereka yang sedang mencari Arkan, karena Arkan berada disamping Rana saat ini.
"Gua bener-bener sendiri saat ini" lirih Rana hampir tak terdengar, Arkan menoleh. Ia menatap lekat gadis dengan wajah pusat pasi itu, berharap melihat gurat keikhlasan disana. Namun nihil, ia tak bisa melihatnya. Seperti melihat matahari saat ini, apa yang harus dia lakukan?
"Lu gak akan pernah sendiri.." Arkan menyakini sambil melirik sekilas temannya yang lain, Zuhra, Ara, Shana, Arya dan Andi. Arkan seakan memberi tatapan minta tolong, yang langsung mereka angguki.
"Gua gak tau bisa jalanin ini sendiri atau engga.." Rana masih menatap lekat tanah basah itu, rasanya sangat sesak.
"Engga.." Zuhra datang sambil mengelus nisan
"Karena lu gak akan pernah sendiri. Gua, Ara, Shana, Arkan, Arya, Andi, Bunda Yana, Mama Indah, Mama Risa, Ayah Rayhan, Ayah Dian, Mama Hana, Bapak Fino, Miracle, Snow, Doggy, bahkan Mumu. Lu gak sendiri" sambung gadis dengan abaya hitam itu, sambil melihat setiap orang yang ada disana.
"Jangan lupain Pak Agung yang lagi pulkam dan Weri yang keberadaannya masih gua cari Ran.." Arya melirik Rana yang masih tertunduk lemah
Sunyi, hanya ada rintik yang berbunyi. Dan pepohonan yang bergoyang dengan malas, sebab angin membawakan lagu sendu
"But, can i die?" Tutur Rana lirih
"Semuanya pasti mati Ran, semua yang bernyawa. Kita bakal ketemu lagi sama Mama Sandra nanti, Insya Allah di surga-Nya" Ara, gadis itu dengan lembut menasihati. Tunggu! Ara lebih tau, ia telah merasakan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Alana HIATUS
Teen FictionNew version :) ** Terlepas dari kecelakaan maut dua tahun silam, pasukan In the Sky masih hidup dengan bayang-bayang pertanyaan siapa pelakunya? Kasusnya memang sudah ditutup, tapi meninggalkan berbagai penyesalan yang tak pernah usai. Zuhra, gadis...