38 : Kabar dia

29 5 0
                                    

Pagi hari yang cerah, mentari seakan mengusir hujan yang sejak semalam tak ingin pulang. Udaranya sangat nyaman, antara panas mentari yang ingin menyambut pagi dengan dinginnya udara yang masih hinggap hingga kini.

Ah.. sungguh pagi yang indah. Bahkan, pelangi seakan menemani bersamaan dengan burung yang beterbangan mencari makan.

Sama seperti burung itu, kini seorang lelaki yang baru saja bangun beranjak menuju dapur. Sarung yang masih melekat, dan kaos putih yang menemaninya tidur itu belum ia ganti.

"Huaaahh!" Ia menguap, dan lelaki itu ialah Arya.

Pagi ala lelaki ini tak ada istimewanya. Saat ini hanya ada dirinya sendiri. Indah maupun Farhan sedang pergi ke swalayan untuk belanja bulanan, dan ia terpaksa membuat sarapan sendiri. Sebab sudah pasti, sarapan tadi pagi Farhan habiskan bersama dengan.. Samsul.

Arya menaruh roti selai buatannya, hanya itu satu-satunya makanan sisa di rumahnya. Ah, kasihan sekali lelaki ini.

Lelaki itu beranjak mengaduk teh hangat buatannya, namun suara menggelegar mampu membuatnya terkejut hingga hampir saja roti yang ia telan membuatnya hampir tersedak.

"ARYAAAA!!!" Suara itu sudah pasti bisa ditebak, Pak Agung.

Teriakan Pak Agung nampaknya bukan hanya membuat Arya terkejut dan Samsul berlari kedalam kamar Arya. Bahkan mungkin, semua hewan yang ada di hutan berlarian ketakutan.

Arya meneguk salivanya, apa ia harus bersembunyi lagi? Tapi dimana? Ah, ia tau!

Kejadian ini seperti kegiatan rutin setelah Weri menghilang. Setiap hari, bahkan mungkin setiap jam. Pak Agung senantiasa pergi ke rumah Arya hanya untuk menanyakan Weri semata, dan terkadang memarahi Arya sampai telinga Arya berwarna merah. Atau, suara Pak Agung serak.

"ASSALAMUALAIKUM!" Pak Agung membuka pintu utama, memperlihatkan ruang tamu yang sangat sepi. Ah, ini sudah biasa terjadi.

Tanpa tunggu lama, Pak Agung lantas beranjak menuju dapur. Ah, ada apa dengan Arya? Mengapa ia sembunyi dibawah meja makan?

"Sini lu! Sini!" Pak Agung menarik Arya dengan paksa, dan dengan terburu-buru Arya mengambil roti yang masih berada di piring itu.

Dan disinilah mereka. Ruang tamu rumah Arya yang semua barang tertata sangat rapi, berbanding terbalik dengan kamar Arya.

"MANA WERI?? MANAAAAAA??!" Pak Agung memijat pelipisnya

"Saya juga gak tau Pak, kok nanya saya? Wong saya kan--" Arya kicep setelah Pak Agung memberikan delikan tajam padanya.

"LU BAKAL CARI DIA PAKE APA HAH?! POLISI KAGAK MAU NYARI, DAN LU SEKARANG KAGAK MAU NYARI LAGI??!!" Pak Agung seakan frustasi, ah.. bukan seakan. Tapi memang benar.

Melihat Arya yang hanya diam tak bergeming, Pak Agung lantas menarik Arya keluar.

"Pak, saya mau diapain pak? Pak saya masih lajang pak, jangan gituu pak! Saya lanang loh pak.." Arya seakan ingin menangis, kemana Pak Agung akan membawanya?

Kantor Polisi.

Tunggu! Benarkah? Tapi, langkah mereka semakin dekat ke arah sana.

"Pak, saya-- saya janji bakal cari Weri lebih semangat lagi! Janji pak, beneraaan!!" Arya terus saja memohon, dan Pak Agung tak mempedulikan itu.

Arya pasrah, ia menutup matanya. Entah akan berakhir apa dia nanti.

"Mau nge-print" Pak Agung membuka suara, namun.. mengapa ada kata print?

Perlahan tapi pasti, Arya membuka kedua matanya. Dan, ia berada di foto copy samping Kantor Polisi. Jika dipikir-pikir dan diingat-ingat saat Dosen mengajar dulu, tak ada pasal tentang kejadian dia tadi. Mana mungkin pula Polisi menerima laporan Pak Agung, toh tak ada barang bukti.

Untuk Alana HIATUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang