Saat ini Zuhra sedang disibukkan dengan kelulusan yang sudah di depan mata, dari mulai melengkapi catatan, menjawab soal, sampai bahkan hafalan semuanya sudah Zuhra siapkan dengan matang.
Walau terkadang rasa malas dan lelah selalu menghantui dirinya, tapi Zuhra selalu mempunyai motivasi yang kuat. Keinginannya menjadi dokter seperti Yana dulu, tak pernah berubah!
Entah apa alasan pasti ia ingin menjadi dokter, yang jelas.. profesi dokter sangat diinginkannya sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Dan saat ini, Zuhra, gadis itu sedari tadi tak henti-hentinya mengulang materi yang ia catat di notebook kecil miliknya. Sedangkan Ara dan Kanaya, mereka saling menyimak hafalan satu sama lain. Kara? Jangan tanya, Zuhra tak tau. Entah kemana perginya gadis itu, yang pasti, dari subuh tadi Zuhra tak melihat keberadaan anak itu.
Zuhra berharap, ujian kelulusan kali ini berjalan lancar. Ya.. ujian kelulusan, tak terasa bukan? Zuhra pikir jika ujian lisan ia tak mendapat nilai bagus, toh masih ada ujian tulis yang harus ia laksanakan. Dan pastinya, ia akan berusaha lebih baik dari ujian lisan ini.
Sejujurnya Zuhra merasa sangat khawatir, belakangan ini Rayhan maupun Yana tak menjenguknya. Hanya mengirim makanan atau keperluan lainnya, itupun bukan Rayhan maupun Yana yang datang ke Pesantren. Dikirim lewat pos, dan Zuhra tak suka itu. Tandanya, ia tak bisa bertemu dengan kedua orang tuanya.
Zuhra selalu bertanya keadaan orang tuanya, dan nampaknya Yana yang paham betul dengan kekhawatiran sang anak mengirimnya surat bahwa ia dan sang suami baik-baik saja. Setidaknya surat dari Yana bisa mengurangi kecemasannya, tapi.. tak bisa mengurangi rasa rindunya. Zuhra rindu kedua orang tuanya..
Apalagi saat ujian semester dua lalu, Zuhra memutuskan untuk tak pulang. Alasannya sederhana, supaya ia bisa fokus untuk belajar. Bisa saja ia fokus belajar di rumah, tapi ia tak ada tempat bertanya selain Ara, itupun jika ia tau. Sedangkan disini, ada Ustadz Rahman, Ayah Kanaya yang bisa membantunya. Bahkan pengajar lainnya seperti Ustadzah Syafa yang sudah ia anggap seperti kakak sendiri, begitupun sebaliknya.
**
Ujian lisan hari ini tak begitu membuat Zuhra pusing, semua berkat Ara yang menjadi guru pembimbing yang lebih galak dari Sari, terkadang.
Tak terasa, waktu dzuhur pun tiba. 'Waktunya sabar', itulah yang selalu Zuhra katakan jika sedang mengantri. Menjadi santri membuat dirinya akrab dengan kata 'antri'.
"Ukhti Zuhra!" Panggil seorang gadis berkulit sawo matang dengan senyum manisnya, Zuhra membalas senyuman itu.
"Na'am Tari" balas Zuhra dengan senyuman yang ramah
"Afwan, ana belum bisa bayar uang yang kemarin" ucap Tari terdengar tak enak, sedangkan Zuhra, gadis itu mengernyit bingung.
"Uang? Uang apaan?" Tanyanya dalam hati
Tari mendengus, pasti kakak kelasnya ini sudah lupa. Ah.. maklum saja, kejadiannya sudah seminggu yang lalu.
"Itu loh kak.. uang spp, waktu itu ibu Tari belum bisa bayar trus Kak Zuhra yang denger ceritanya dari Kayla, adiknya Kanaya.
"Ouh.. itu!" Zuhra menggaruk pipinya yang tak gatal
"Gak usah dipikirin Tari, lagian masih bisa dikasih kapanpun kok" sambung Zuhra dengan senyum, dan di balas oleh Tari.
Ya.. begitulah sifat asli Zuhra, tak ayal mengapa dia sangat disegani bukan?
Saat mereka tengah asik berbincang, tiba-tiba Kara datang dan langsung menyerobos masuk ke dalam barisan, membuat semua orang kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Alana HIATUS
Teen FictionNew version :) ** Terlepas dari kecelakaan maut dua tahun silam, pasukan In the Sky masih hidup dengan bayang-bayang pertanyaan siapa pelakunya? Kasusnya memang sudah ditutup, tapi meninggalkan berbagai penyesalan yang tak pernah usai. Zuhra, gadis...