42: Sunrise

46 4 1
                                    

"Shalat meminta hujan saat terjadi kemarau panjang, dinamakan?" seorang lelaki paruh baya dengan surban yang melilit dikepalanya masih saja memberikan berbagai pertanyaan, dengan hadiah yang tak kalah menggiurkan.

"ISTIQLAAAL!!"
"ISTISQAAA!!!"

Seorang gadis kecil dan anak lelaki berumur sekitar lima tahun itu menjawab bersamaan, setelahnya seorang lelaki paruh baya dengan gadis kecil itu tertawa lepas membuat lelaki kecil yang masih amat polos itu kebingungan.

"Yang bener itu Istisqa Ikliel!" Tutur lelaki paruh baya itu membenarkan dengan tangan kanan memberi hadiah uang pada gadis kecil itu

"Hehe, Ikliel lupa!" Tuturnya sambil terkekeh kecil

"Okey, ini pertanyaan terakhir. Karena Aba mau ke masjid untuk shalat jumat. Dengar baik-baik." Aba, lelaki paruh baya yang akrab dipanggil oleh kedua anak kecil itu. Ia adalah pemimpin Pondok Pesantren Izzuddin saat ini, Izkandar Zeeshan.

"Didalam Al-qur'an surah Al-Hujurat ayat sepuluh, Allah menjelaskan tentang ?" Tanyanya dengan tangan kanan yang siap memberi hadiah selanjutnya, kali ini ia menaikan level pertanyaannya, dan dengan hadiah yang semakin bertambah pula.

"Apa.. ya? Bentar deh, Ikliel murajaah dikit.."jari jemari mungil dari anak lelaki itu beranjak bergerak menuju dagunya. Sedangkan gadis kecil yang duduk disampingnya, seakan telah frustasi dengan soal itu.

"Aku tau! Tentang orang yang merendahkan suaranya pas ngomong sama Nabi trus ini apaa.. Allah bilang kalau mereka itu orang bertakwa! Trus mereka bakal dikasih ampunan sama dapet pahala!" Tutur gadis itu panjang lebar dengan semangat yang membara, bahkan Ikliel nampaknya sampai terpana mendengarnya.

"Layla, itu bukannya ayat ketiga ya?" Izkandar menasihati anak dari temannya itu, dan Layla, gadis kecil itu tengah kebingungan sekarang.

"Ouh.. iya! Layla lupa hehe.." kekehan itu lantas terdengar, menghibur mereka berdua yang tengah kebingungan itu. Sedangkan Izkandar, tak sabar untuk memberitahu jawabannya.

Namun, belum sempat Izkandar membuka suara. Langkah kaki dari arah tangga terdengar, dengan suara khas dari anak lelaki satu-satunya itu.

"

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَ صْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَا تَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu yang berselisih dan bertakwalah kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat." Izkandar menoleh, mendapati anak tunggalnya itu tengah tersenyum ke arahnya.

"Allah memberitahu kita bahwa kita sesama orang mukmin itu bersaudara, saudara dari Nabi Adam as. Dan Allah menyuruh kita untuk mendamaikan atau merukunkan orang-yang yang sedang bertengkar. Dan Allah menyuruh kita untuk bertakwa dalam arti meninggalkan yang dilarang dan menjalankan yang diperintahkan." Tuturnya panjang lebar sambil membenarkan surban yang dililit dikepalanya itu.

"Ih, kalau udah ada Akhi gak seru!" Ikliel mengeluarkan kekesalannya terhadap abang sepupunya itu. Ia merasa kesal karena abang sepupunya itu, senantiasa bertingkah usil padanya.

Layla dan lainnya terkekeh, termasuk lelaki yang baru saja selesai merapikan surbannya itu.

"Tapi nanti kalau Akhi ke Mesir, kamu bakal sedih kayak kemarin lagi!" Layla menggoda, namun Ikliel dengan tampang yang menyebalkan itu menatap Layla agar tidak menceritakan kisah itu.

"Sudah, sudah.. mari berangkat. Layla disini dulu, ya. Sebentar lagi Uma Khaizuran datang, kok." Izkandar menasihati, dan benar saja setelahnya istrinya datang dengan sayuran segar diatas keranjang. Saat itu pula, para lelaki itu pergi menuju masjid yang berada di Pesantren.

Untuk Alana HIATUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang