21. The Crossroads

1.6K 148 54
                                    

Sekitar lima belas meter lagi maka kegiatan olahraga mendadak ini akan segera berakhir. Entah apa yang merasuki pikiran perempuan itu tadi pagi, terbangun pada pukul empat setelah baru bisa menutup matanya sekitar pukul dua dini hari. Gianna kesulitan untuk tidur semalam, dirinya tiba-tiba merasa gelisah dan risau bahkan sampai saat ia bangun setelahnya, dan kegelisahan itulah yang membuat perempuan itu memutuskan untuk keluar rumah sekitar pukul lima, melakukan lari pagi disekitar komplek perumahan, sekaligus mencari udara segar yang 'sangat' di harapkan bisa membantu meringankan kepalanya sejenak, kepalanya terasa berat, seperti banyak sekali hal yang mengisi, terutama tentang kejadian didepan teras rumahnya tadi malam.

Sikap Agara terhadapnya, yang mungkin terdengar berlebihan jika rasa hangatnya masih bisa Gianna rasakan. Kecupan itu masih terasa membekas dikeningnya sampai saat ini.

Gianna menghela napas, mengingatnya lagi membuat kepalanya terasa mendidih, dan seketika jantungnya kembali berdetak tidak normal, tempo larinya ia tambahkan, seakan dengan berlari sekencang mungkin bisa membantunya melupakan itu, meninggal kan nya jauh-jauh. Tapi seolah di pukul oleh realita, yang menegaskan bahwa sebuah kenyataan akan selalu ada dan tidak akan pernah berubah.

Ia tidak marah, apalagi benci.

Ia hanya kesal, dan juga—merasa bingung.

Pertama, karena apa yang ia lakukan semalam adalah hal yang baru disadarinya begitu memalukan. Bagaimana mungkin ia dengan senang hati menceritakan tentang masa lalunya sedetail itu kepada Agara? bahkan sampai menangis didepan laki-laki itu. Gianna kesal karena terlalu terbawa oleh suasana sehingga tidak bisa mengontrol dirinya sendiri, ia kesal karena Agara harus tau tentang bagaimana terlihat rapuhnya ia menghadapi masalah yang dialaminya selama kurang lebih dua tahun ini.

Kedua, dirinya merasa bingung—lebih tepatnya—dibuat bingung oleh respon Agara setelah mendengar ceritanya, sikap laki-laki itu, gerak-geriknya, sama sekali tidak menjukkan Agara yang ia kenal. Walaupun bisa dibilang mereka belum lama dekat, tapi Gianna sudah hapal bagaimana laki-laki itu, terlebih sikapnya untuk merespon sesuatu. Apa yang Agara perlihatkan semalam bukanlah apa yang sering laki-laki itu lakukan. Agara tidak banyak bicara, bahkan tidak merespon cerita yang bisa dibilang cukup banyak menghasilkan pertanyaan jika ia mau. Kesimpulannya, Agara tidak terlihat antusias, seperti seolah tidak niat untuk mendengarkan, bahkan tidak ada sikap dewasa yang biasa ia temukan pada Agara seperti halnya setiap kali mereka mengobrol, maksudnya—Agara tidak memberikan advice apa-apa untuk menenangkannya.

Hanya sebuah tindakan yang sempat membuat dirinya tertegun selama beberapa detik.

Tindakan yang Gianna tidak tau alasan kenapa Agara tiba-tiba melakukan itu.

Brak!

Bunyi keras terdengar saat Gianna dengan sengaja menyandarkan tubuhnya kepagar rumah yang tertutup. Perempuan itu berusaha mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, keringat di sisi kepalanya sudah bercucuran. Tidak hentinya berlari sejak dua setengah jam yang lalu dan menambah kecepatan disaat dirinya sudah mulai kelelahan ternyata cukup menguras banyak tenaganya.

Ia memang merasa letih, namun itu tak jadi masalah karena apa yang ia kerjakan cukup bisa mengalihkan pikirannya dari hal-hal lain, memang tidak seluruhnya, hanya sejenak, tapi dirinya merasa puas.

Ceklek... bunyi engsel pagar yang dibuka seketika menyadarkan perempuan itu, ia bergerak dari posisinya, melihat kearah Mang Joko—security dirumahnya yang baru saja muncul dari dalam.

"Loh, non Gianna? mamang kira siapa." ujar pria paruh baya itu. "Baru aja mau disusulin non."

"Mang Joko mau nyusulin saya?"

"Iya, disuruh sama Bapak, soalnya kata bapak si non nya ditelpon dari tadi gak diangkat, orang rumah pada khawatir karena non Gia keluar rumah dari jam setengah enam kok sampe jam delapan gak pulang-pulang."

Secret RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang