39. Don't Do Stupid Things

1.8K 124 81
                                    

Ketika kamu sudah benar-benar mencintai sesorang, ketika kamu bertemu dengan seseorang yang kamu rasa tepat, yang benar-benar mengerti siapa kamu, benar-benar tulus menjaga kamu, benar-benar menjadikan kamu sebagai bagian dari hidupnya. Kamu tidak akan pernah sanggup untuk merasa kehilangan, melihat dia terluka, dan melihatnya menderita.

Bahkan, seisi dunia pun jika bisa, akan kamu berikan.

Berlebihan? tentu saja, tapi— tidak ada yang berlebihan untuk yang namanya rasa yang datang tanpa syarat.

Mencintai itu anugerah memang, sumber kebahagian paling tinggi dari apapun. Namun, jika terlalu mencintai— juga akan menjadi sumber kesakitan yang paling sakit dari apapun.

Bagaimanapun cinta hadir, darimana pun ia datang, dari tindakan salah atau benar. Tetap saja, disaat kamu sudah memilih untuk mencinta, hanya dua kemungkinan yang bisa kamu rasakan. Sangat bahagia, atau sangat terluka. Ya— cinta itu mudah namun penuh dengan resiko.

Gianna menghela napas. Terduduk lesu didalam mobil miliknya sendirian, setelah menemui Edgar dan pamit dengan alasan kondisi ayahnya, Gianna buru-buru pergi. Ia tidak bisa berdiam lama-lama dirumah sakit sementara perasaannya sedang kacau, ia butuh tempat lain, ia butuh waktu untuk berpikir. Gianna sedikit lega karena Edgar tidak banyak bertanya dan langsung mengiyakan saat ia meminta untuk pulang.

Sekali lagi perempuan itu menghela napas, sebelum tangannya bergerak mengambil ponsel yang tergeletak pada kursi kosong disebelahnya. Ada tujuh notif panggilan tidak terjawab. Lima diantaranya dari Dela, dan dua diantaranya dari Lula. Kedua orang itu juga masing-masing mengirim pesan yang belum ia baca, bunyi pesan dari keduanya hampir sama.

Dela :
Gi lo dimana? angkat telpon gue

Lula :
Gi, dimana?

Tangannya bergerak, membalas pesan dari Lula dan mengatakan bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju apartemen perempuan itu. Sementara pesan dari Dela belum ingin dirinya balas, Gianna tau betul apa yang ingin Dela bicarakan kepada nya, dan— ia masih belum siap untuk membicarakannya, Gianna yakin sepupu nya itu pasti akan marah besar jika mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Gianna sekali lagi memeriksa ponsel miliknya. Tidak ada pesan ataupun panggilan dari Agara. Tentu saja tidak ada. Laki-laki itu sudah terlanjur terluka, dan tidak ada alasan untuk Agara menghubunginya lebih dulu, siapa yang salah disini? Jelas dirinya. Ia yang sudah menyebabkan semua keadaan rumit ini terjadi.

Kembali Gianna menghela napas berat. Terbayang lagi olehnya wajah Agara yang nampak begitu kecewa, dengan sempurna sorot matanya memperlihatkan perasaan marah dan sedih di waktu yang bersamaan.

Tiba-tiba air mata Gianna turun.

Perempuan itu tak langsung menghapusnya, dibiarkannya air mata itu mengalir seakan hal itu adalah gambaran sebenarnya bagaimana perasannya saat ini. Gianna tidak bisa berbicara dan mengungkapkan kebenaran tentang apa yang ia mau. Walau sebenarnya ia ingin sekali berteriak untuk itu, tapi tidak— Gianna tidak bisa, dirinya tidak bisa mengatakan apa-apa.

Ia semakin terisak, seakan berpacu dengan rintik hujan yang sedang turun deras diluar sana. Meskipun ia sudah berusaha menahan mati-matian hingga dadanya terasa sesak, tetap saja tidak bisa dicegah, air matanya terus menerus turun dan turun.

Kedua tangannya yang sejak tadi berpegang pada stir kemudi sedikit gemetar, namun isakannya semakin bertambah keras, bahkan sekarang menimbulkan suara yang menyanyat hati. Pijakan pada gas semakin kuat ia dorong, membawa mobilnya menyusuri jalanan yang basah tersapu hujan.

Sakit rasanya.

Seperti semua hal disekitarnya hancur lebur.

Gianna tidak tau apakah ia bisa mengembalikan keadaan seperti sedia kala, apakah ia bisa merubah keputusan sepihak itu.

Secret RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang