31. Butterfly

1.7K 127 103
                                    

Bisa dibilang sepanjang jalan Asia-Afrika tidak pernah sepi dikunjungi, entah saat weekend ataupun pada hari biasa seperti sekarang. Suasana malam ini begitu ramai diisi pejalan kaki yang menghabiskan waktu berjalan menikmati udara malam yang baru saja ditinggal hujan beberapa jam lalu. Orang tua bersama anak-anaknya, segerombolan muda mudi berkumpul untuk sekedar nongkrong sembari bercerita tentang banyak hal, pasangan kekasih yang duduk bercengkrama di kursi-kursi sepanjang trotoar, dan terlihat ada beberapa turis juga yang menjadikan Bandung sebagai tempat pilihan untuk destinasi wisata.

City of Heritage, begitu salah satu julukan untuk kota yang terletak disisi selatan pulau Jawa ini. Bangunan-banguan kolonial berdiri megah menghiasi jalanan Asia Afrika-Braga. Dari Savoy Homann Hotel ambil jalan ke kiri berdiri Warenheuis De Vries, bangunan yang dulunya adalah toserba pertama di Bandung sebelum pada akhirnya digunakan oleh bank swasta seperti sekarang. Seberang jalan berdiri Museum Komperensi Asia Afrika, jalan lurus mengelilingi bangunan, tepat disamping nya berdiri lagi Concordia, atau yang sekarang dikenal dengan nama Gedung Merdeka. Kemegahan bangunan-bangunan ini tidak akan pernah bosan untuk dinikmati, bisa dibilang— kenangan tentang Bandung tercipta pada sepanjang jalan yang dihiasi bangunan-bangunan tua kokoh itu.

Agara dan Gianna memasuki bangunan diseberang Museum Konferensi yang sudah disulap menjadi bangunan kedai kopi yang namanya terkenal di seluruh dunia, keduanya tengah sama-sama berdiri didepan kasir.

"Kamu mau minum apa, Gi?"

"Greentea cream, yang grande aja."

Agara mengangguk sekilas, matanya kembali kearah barista yang masih menunggu keduanya untuk menyebut kan nama minuman yang mereka mau.

" Grande Greentea cream nya satu." ujar Agara. "Terus sama Caffe Late with Caramel Syrup nya satu."

"Caffe Late yang ukuran apa kak?"

"Sama, grande dua-duanya."

"Hot atau Cold?

"Co—"

"Yang hot aja mas." Gianna memotong, membuat Agara spontan menoleh.

"Tapi aku maunya yang dingin." ujar laki-laki itu kemudian, dengan nada seperti merajuk.

"Cuaca nya lagi gak bagus, gak boleh minum yang dingin-dingin, nanti tenggorokannya sakit."

"Yaaahhh..." Agara mendesah kecewa.

"Jadi mau nya hot atau cold?" si barista kembali bersuara, menatap dua orang didepannya secara bergantian.

"Hot aja."

"Oke, atas nama siapa kak?"

Agara dan Gianna spontan saling pandang, didalam kepala mereka sama-sama memikirkan satu hal. Sekarang mereka tengah berada ditempat umum, menggunakan masker dan topi agar tidak ada satupun yang mengetahui jika selebriti terkenal sekelas Agara Rigel sedang berkeluyuran tanpa satupun bodyguard yang mendampingi. Jadi, tidak mungkin dengan suka rela mereka akan menyebutkan nama pada si barista.

"Atas nama Bambang."

Gianna mengulum bibir, berusaha menahan tawanya agar tidak menyembur mendengar jawaban ngasal dari laki-laki disamping kirinya.

"Caffe Late nya ya yang punya kak Bambang?" tanya si barista dengan polos

Agara mengangguk, tidak terlihat ingin tertawa sama sekali, lagipula separuh wajah laki-laki itu juga ditutup dengan masker.

"Yang kakak disebelah saya ini atas nama kak Sutini, tulis di gelasnya Sutini Cantik pake emot lope lope, gitu." ujar Agara kemudian.

Gianna mendelik antara sebal dan ingin tertawa.

Secret RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang