Bab 5 𓋼𓍊

98 26 86
                                    

Lyliu duduk sembari memakan roti berisi selai kacang dan menghabiskan segelas susu putih hangat yang tersisa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lyliu duduk sembari memakan roti berisi selai kacang dan menghabiskan segelas susu putih hangat yang tersisa. Makanan itu masih belum disentuh oleh pria pemilik rumah, tidak ada salahnya jika ia menghabiskan sisa makanan di meja.

Gigitan pertama yang dirasakan oleh gadis tersebut begitu hambar. Selai kacang tidak berteman baik dengan lidahnya. Nafsu makan sedikit berkurang. Melirik beberapa potong buah di atas piring, membuat matanya membulat. Buah-buah itu amat menggoda seleranya.

Mengunyah beberapa potong apel, membuatnya teringat sesuatu hal. Cairan bening menetes membasahi kedua pipinya. Mulutnya berhenti, seketika sesenggukan mulai ikut serta. Kenangan empat tahun lalu kembali teringat.

🎐

Menjalani hidup yang serba sederhana, membuat Lyliu selalu bersyukur. Jangankan makan daging, melihat kehadiran buah di rumah neneknya saja jarang.

"Beginilah keadaan rumah Nenek, mungkin tidak sebagus rumahmu dulu." Wanita berusia sekitar enam puluh lima itu menuntun Lyliu masuk.

"Nenek tidak punya baju anak kecil seukuranmu. Nanti Nenek jahitkan saja, ya," ucapnya sembari menuntun gadis itu duduk di kursi.

"Maaf, Nek. Lyliu tidak punya uang dan sangat merepotkan Nenek," jawab gadis tersebut dengan matanya yang berbinar.

"Tidak, Cucuku. Uangmu nanti ditabung saja, Nenek yang akan membiayai hidupmu juga sekolahmu."

Wanita yang sudah dianggap Lyliu dengan sebutan nenek, berjalan ke arah belakang rumah dan menyibak kain lusuh yang tergantung di sekat ruangan. Terpikir kembali, mungkin hidup sederhana seperti ini lebih menyenangkan dari sebelumnya. Dibandingkan bersama pria asing.

Bukan tangisan lagi yang tergambar di wajahnya, melainkan sebuah kekesalan bahkan amarah. Keluarga sesungguhnya, seharusnya menjadi benteng untuk berlindung, bukan malah mengorbankan salah satu anggotanya demi uang.

Kenapa uang sangat menggoda? Sekali tergiur dapat menghipnotis bahkan memutus janji. Dunia memang keras, mungkin banyak juga anak-anak yang bernasib sedemikian rupa. Namun, satu prinsip bersyukur yang diajarkan oleh ibu Lyliu padanya membuat gadis tersebut tangguh menghadapi peristiwa ini.

Celingak-celinguk melihat sekeliling. Jarak antara kepalanya saat ia berdiri dengan atap rumah tidak begitu jauh. Padahal, tinggi tubuh kecilnya itu hanya seratus tiga puluh dua sentimeter. Lebih pendek dari anak seusianya.

Dinding terbuat dari bambu yang dianyam, tetapi lebih kokoh dibandingkan pos ronda. Lantai masih tanah tanpa alas apapun. Kursi-kursi kayu berjejer rapi mulai rapuh. Jendela juga terbuat dari kayu. Kalau ingin melihat pemandangan harus membukanya terlebih dahulu, tidak seperti kaca yang langsung tembus pandang.

Sinar matahari tanpa sungkan menerobos sela-sela di dinding anyaman bambu, membuat kesan tambahan untuk cahaya tanpa menguras listrik terlalu banyak. Rumah yang begitu sederhana, bahkan bolam hanya terpasang dua buah saja. Satu di ruang utama, satunya lagi di dapur.

Mao's Journey [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang