"Lalu karena apa? Oh, Mama curiga. Pasti karena gadis baru itu, 'kan?"
"Ma," Zian mengelak.
"Tidak, tidak. Jangan harap Mama akan merestui hubungan kalian!" Amarah Nai Nai semakin menjadi-jadi. Ia tidak mau mendengar lagi kalimat putranya itu dan segera pergi dengan mengendarai mobilnya.
Zian tidak bisa menghentikan sang mama. Wajah datarnya kini terlihat sedikit gelisah. Firasatnya berkata, bahwa mereka berdua mungkin butuh waktu untuk tidak saling berkontak. Alias saling berdiam. Namun, pria itu masih memiliki adab. Meski saling marah, Zian tetap mengantarkan Nai Nai sampai gerbang rumahnya.
Seusai mobil putih itu hempas, Rawa yang berada di depan kamar Lyliu pada lantai bawah. Melihat kakaknya berdiri di belakang pagar, lewat dinding kaca besar. Pemuda 17 tahun tersebut tanpa pikir panjang langsung naik ke lantai dua kemudian menuju pintu utama guna menemui Zian.
"Kak, ada masalah dengan Mama?" tanya Rawa sembari mengusap sedikit keringat di dahinya.
"Mao tidak bisa tinggal di sini."
Ekspresi Rawa yang sebelumnya polos dengan harap akan mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya, kini berubah. Terkejut bukan main. Kedua alisnya diturunkan. Kedua matanya membelak. Keningnya berkerut, serta dengan tegas ia melontarkan kalimat pertanyaannya.
"Kenapa? Bukankah Kakak sudah berjanji?"
"Sebagai gantinya, kita bisa menyewakan atau membelikan dia rumah," jawab Zian dengan berusaha meyakinkan adiknya.
Rawa spontan melawan kalimat kakaknya. "Enggak!"
Adik dari tuan pemilik rumah membalikkan badan kemudian berjalan ke arah lantai dua dengan kesal. Zian hanya diam. Ia tahu perasaan Rawa yang begitu sayang pada Lyliu. Namun, keadaan sekarang begitu membuatnya pusing. Meskipun punya hak sendiri, Zian masih belum seratus persen menerima gadis itu sebagai adik keduanya.
Wajah datar sambil melangkah penuh beban pikiran. Sebenarnya dalam kondisi seperti itu, Zian sangat membutuhkan seorang pendamping. Terkhusus seperti Luvy. Bukan karena belum move on, tapi dirinya belum mendapatkan seseorang yang serba bisa untuk mengisi hatinya.
Rawa membanting pintu dan menguncinya rapat-rapat. Ia terlalu kecewa dengan sang kakak. Pemuda itu masih belum dewasa, sehingga dirinya juga berpikir bahwa ibunya tidak memikirkan kebahagiaan serta keinginannya. Rawa lekas terjun bebas di atas ranjang dipenuhi tumpukan pakaian dan selimut. Bantal gulingnya berantakan tak karuan.
"Aish, menyebalkan!"
Adik dari Zian itu melempar ponselnya yang semula ia tanpa sengaja menindih, sekarang jatuh terpental jendela kaca. Tepat di atas meja belajarnya, ponsel tersebut mendarat di antara miniatur figure. Sontak terkejut saat bunyi keras dari sebuah benda itu. Rawa bak mengikuti latihan militer. Ia langsung berdiri sigap dan melompat dari atas kasur guna mengecek ponselnya.
"Rawa! Kau ini bodoh kali, main lempar aja. Kalau rusak jadi tambah masalah, 'kan?"
Seusai kembali mengecek, tidak ada kerusakan. Pemuda itu langsung membuka aplikasi chat terpampang nama dan foto profile seorang gadis. Tanpa berlama lagi ia segera menghubungi seseorang tadi dalam bentuk ketikan. Sambil berdiri, Rawa memegangi ponselnya erat. Dengan gesit kedua ibu jarinya menekan layar.
Rawa
San, Lo besok masuk nggak?Sana
Oit, ada perlu apa? Tumben.Rawa
Nggak ada.
Kangen aja sama dirimu.Sana
Yang bener?
Buset dah, sejak kapan Lo jadi buaya?
Cepetan bilang, atau chat Lo masuk arsip.Rawa
Ada deh. Besok masuk ya, awas aja gue samperin ke kelas Bahasa kaga ada dirimu.Sana
Probably, kalau kaga ada janji dah gue ghosting.Rawa
San, serius lah. Gue butuh bantuan Lo.Sana offline
Rawa
Anak guguk!Kekesalan Rawa kembali membara. Sebelumnya sempat padam, tapi melihat kondisi chat-nya tidak ada jawaban pasti, membuatnya naik pitam. Ia meletakkan ponselnya sambil membuka sticky note yang terletak di atas tumpukan buku pelajaran. Rawa mengernyitkan dahi. Terlihat jadwalnya besok di sekolah terlalu padat. Bahkan selesai jam pelajaran pun ada rapat OSIS untuk mempersiapkan acara besar milik sekolahnya.
🎐
Lyliu telah bersiap untuk berangkat. Tinggal menunggu Rawa, belum terlihat di lantai dua. Kini bukan lagi Zian yang mengantar mereka berdua. Belva sudah di dalam mobil hitam duduk di kursi kemudi. Tuan pemilik rumah tak tampak di sekitar. Entah pergi ke mana pagi buta begini. Lyliu sempat menyiapkan sarapan untuk tuannya. Namun, jatah sarapan itu justru diberikan pada Belva yang sedari Subuh sudah berada di sofa tamu.
Dua anak SMA kelas sebelas tersebut memasuki mobil. Belva menjadi sedikit menghemat kata. Ia diam. Pertanyaan siap tidak kah Lyliu dan Rawa pun hanya ia lontarkan lewat kontak mata melalui kaca spion di bagian dalam. Menyesuaikan kondisi, Rawa juga menjadi lebih pendiam ala-ala cowok softboy tapi cool.
Sampai di sekolah, Belva beserta mobil hitam tersebut langsung hempas. Kemudian mereka berdua jalan saling beriringan memasuki kelas XI MIPA 2. Baru menginjakkan kaki di pintu, semua mata siswa dalam kelas tertuju pada mereka. Untung saja hanya seperempat bagian yang sudah datang. Sebelumnya tempat duduk Lyliu berada di belakang Rawa. Namun, pemuda itu begitu peka menukar posisinya agar Lyliu tidak terlalu dekat dengan kursi segerombolan lelaki bagian belakang.
"Sudah merasa nyaman?" Rawa berdiri setelah meletakkan tasnya lalu berjalan mendekati sang adik angkatnya.
Lyliu mengangguk sambil tersenyum manis. Gigi gingsulnya terlihat, membuat Rawa merasa gemas. Pemuda itu tidak bisa menahan tangannya. Dengan segera mengusap lembut rambut Lyliu dan berapikan poni di dahi gadis tersebut. Kelakuan Rawa membuat seisi kelas saat itu langsung terkejut. Mereka saling berbisik membicarakan dua muda-mudi. Lumayan gosip baru.
Rawa sedikit membungkuk hingga kepalanya sejajar dengan wajah Lyliu. Sepatah kalimat dilontarkan dari mulut sang pemuda. "Nanti aku ada praktikum kimia sama rapat OSIS . Kemungkinan pulangnya tidak bisa bareng. Biar Kak Belva aku suruh jemput Kamu, nanti aku gampang lah."
"Terima kasih," balas Lyliu.
Sebenarnya gadis itu merasa sedikit sungkan kalau berdua saja di dalam mobil tidak ada Rawa. Namun, lebih baik dibandingkan ia harus menunggu sampai pemuda itu pulang. Karena tujuannya tinggal di rumah tersebut untuk menjadi asisten rumah tangga. Bagaimana jika nanti tuan pemilik rumah sudah pulang dan Lyliu belum melaksanakan tugasnya. Akan semakin bahaya.
Terlihat Sana berdiri sembari sandaran pindu kelas XI MIPA 2. Sudah dari beberapa menit yang lalu, Sana memerhatikan Lyliu dan Rawa. Bahkan saat Rawa mengusap lembut surai Lyliu tertangkap jelas di matanya. Bak jepretan kamera. Sesekali gadis itu melihat jam di tangannya. Karena waktu menunjukkan bel akan segera berbunyi, Sana langsung membuyarkan suasana dunia milik mereka berdua.
"Ehem!" dehaman Sana berhasil mengambil alih.
"Eh buset, dah ditungguin ternyata. Mao aku mau bicara sebentar dengan Sana, nanti balik ke sini lagi," akhiran dari Rawa sebelum ia berjalan ke arah seorang gadis di pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mao's Journey [SELESAI]
Novela Juvenil[𝙽𝚎𝚠𝚊𝚍𝚞𝚕𝚝 - 𝚁𝚘𝚖𝚊𝚗𝚌𝚎] Andai saja Lyliu patuh pada waktu itu, mungkin ia tidak akan bertemu bahkan tinggal seatap bersama Zian dan Rawa. Terkadang, menjadi gadis bandal adalah opsi yang tepat. Memberikan bentuk energi positif atas kelak...