Hampir setengah jam, gadis itu masih belum ditemukan. Rawa dan Belva ikut mencari seisi mal. Tanpa pengalaman di tempat seluas itu, pasti Lyliu sudah ketakutan. Tidak ada yang tahu keadaannya sekarang. Kedua pemuda yang bersamanya tadi hampir menyerah. Bagaimana mereka menjelaskan pada tuan pemilik rumah.
"Aku nggak tahu lagi, Kak. Kasihan Mao." Ekspresi wajah Rawa tidak bisa dijabarkan.
"Mao aman, kok. Tenang aja," ucap Belva meyakinkan.
"Tahu dari mana?" sela Rawa ngotot.
"Tuh, lihat sana." Pria yang lebih tua menunjuk arah dengan isyarat kedua matanya.
Rawa langsung menoleh mengikuti arahan dari kakak angkatnya tersebut. Terlihat Lyliu yang digandeng beberapa petugas keamanan di mal. Wajah gadis itu bergidik tidak karuan. Mereka berjalan menemui Rawa serta Belva. Langsung tanpa jeda, pemuda kelas dua SMA merangkul bahu kecil Lyliu. Segera, pria paling tua di antara mereka bertiga turut serta memberikan minum.
Petugas keamanan kembali. Belva memutuskan untuk mengajak kedua orang yang dianggap sebagai adik angkatnya keluar mal. Banyak pasang mata mengarah pada mereka. Sebenarnya bukan terlihat seperti kakak dan kedua adiknya, melainkan seperti teman sebaya. Karena wajah Belva yang tidak begitu tua, walau usianya selisih enam tahun dengan Rawa.
Berkali-kali Rawa menenangkan dengan mengajak Lyliu ke suatu tempat, misalnya tempat makan. Mungkin dengan asupan makanan, gadis itu dapat menghilangkan traumanya. Namun, tetap saja Lyliu menolak dan meminta agar segera pulang. Belva menyetujuinya, karena bisa jadi tuan pemilik rumah sudah pulang dan menunggu mereka.
Memasuki mobil lalu menyalakannya. Sesekali Belva yang duduk di kursi kemudi melirik Lyliu dari kaca kecil bagian depan atas. Rawa memutuskan untuk duduk di kursi belakang menemani gadis tersebut. Tidak ada obrolan apapun membuat hening ikut serta. Rawa tak bermaksud apapun. Ia memegang erat telapak tangan kiri Lyliu.
"Masih belum tenang?" tanya Rawa.
"Aku ingin tidur." Gadis itu bergegas menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi mobil.
Seketika pemuda di sampingnya langsung mengambil kepala Lyliu dan menyuruh bersandar pada bahunya. "Di sini aja."
Merasa amat letih, bahkan tidak mampu untuk menolak. Menurutinya, sehingga tenggelam dalam lelapnya kantuk. Belva melirik dengan wajahnya yang datar. Rawa menyadari, sepasang mata pria yang mengemudi mobil menatapnya dalam-dalam. Tanpa basa-basi Rawa melontarkan sepenggal kalimatnya lirih.
"Aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri, Mao. Kamu tenang saja. Seiring berjalannya waktu, kak Zi yang dingin itu akan menerimamu. Karena keinginan kita dulu memiliki seorang adik perempuan."
"Pasti. Hampir empat tahun, kehidupannya yang hampa akan segera bewarna lagi," sahut Belva.
"Padahal kak Luvy sudah lama pergi meninggalkannya. Namun, pria itu tetap belum bisa membuka hatinya." Rawa berkata membuat Belva terdiam sejenak.
"Jangan-jangan, tujuanmu membawa Mao ke rumah hanya untuk mengisi kekosongan hati kak Zi?"
"Mana ada. Aku yakin, kehadiran Mao akan segera merubah banyak hal," ucap Rawa menjadi obrolan terakhir sebelum mobil hitam yang mereka tunggangi menuju pagar rumahnya.
Senja sudah membaur pada langit bagian barat. Warna jingga keoren-orenannya sungguh elok menghiasai lautan berjuta bintang. Burung berkicau dan terbang sejajar rapi. Barisan yang mereka buat seperti garis lintang katulistiwa. Sayang sekali, pemandangan favorit itu dilewatkan oleh Lyliu.
Sembari mendekatkan sidik jarinya pada gerbang otomatis, Belva menyampaikan sebuah informasi. Sebelum melanjutkan kemudinya, pria itu sekarang tidak melirik gadis yang tertidur lewat spion tengah, tetapi langsung menghadap mereka berdua di kursi belakang.
"Tolong, nanti kamu jaga baik-baik si Mao. Entah apa yang akan terjadi di sekolahmu kelak."
"Dokumennya sudah Kak Belva urus?" tanya Rawa memelankan suaranya.
"Beres. Mungkin lusa, kak Zi akan mengantarnya. Mengenai masa lalunya, kita akan bahas larut malam nanti," lanjut Belva juga mengembalikan pandangannya ke depan dan mulai memasuki area garasi.
Rawa membangunkan Lyliu, lalu mereka berdua langsung masuk rumah lewat garasi tanpa harus berbalik arah menaiki tangga untuk menuju pintu utama. Gadis itu hanya sempoyongan karena masih mengantuk. Dengan sigap Rawa peka keadaan langsung menuntunnya. Belva yang selesai mengunci mobil, mengikuti mereka berdua dengan satu paperbag berisi sepasang pakaian milik Lyliu.
Tiba saja, ponselnya bergetar hebat. Terdapat banyak notifikasi chat dari satu nomor yang tidak asing. Mungkin menjadi daftar list nomor tiga dari atas. Walau dianggapnya tidak begitu penting, tetapi Belva tetap membuka room chat-nya kemudian membalasnya.
Dheo Hansen
Kakak pulang kapan?
Kenapa sampai menjelang malam gini?
Nggak kuliah?
Kapan pulang, sih?
Kita butuh uang untuk bunda berobat.
Cepatlah pulang.Belva
Segera. Tolong jaga bunda sebentar.Dheo Hansen
Masih lembur, ya?Belva
Iya, Sen.Dheo Hansen
Jangan terlalu malam.Belva memasukkan ponselnya dalam saku celana. Posisi dia sekarang membuatnya semakin pusing. Dari kecil dirinya yang menjadi tulang punggung keluarga. Hidup hanya dengan ibunya yang sakit-sakitan, juga adiknya yang sekarang masih seusia Rawa dan harus menempuh pendidikannya demi menyelesaikan Sekolah Menengah Atas.
Untuk Belva yang bisa melanjutkan kuliah hingga sekarang dia berada di tahun ketiga, karena Zian telah membiayai seratus persen semua uang kuliahnya. Zian juga memperkerjakan Belva sebagai kaki tangannya. Alasan lainnnya karena Belva dapat dipercaya. Didukung lagi dengan sifat Belva yang baik hati dan penyayang. Dia juga tidak pernah membedakan antara adik majikannya--Rawa, dan Hansen, adik kandungnya sendiri.
🎐
Belva segera menyusul kedua anak muda itu, lalu menaiki tangga menuju lantai dua. Sedikit terkejut menyaksikan Rawa dan juga Lyliu berdiri diam memandangi tuan pemilik rumah tengah duduk di sofa ruang tamu. Sambil menyilang kan kakinya, aura pria tersebut terasa elegan dan sedikit menakutkan.
Mata Lyliu dan Rawa membulat lebar. Pria itu masih menggunakan jasnya. Lyliu yang sedari tadi lemas karena mengantuk, kini semua rasa kantuknya seakan hempas begitu saja. Ia panik tidak terkendali. Mungkin tuan pemilik rumah marah besar, karena mereka bertiga pulang terlambat. Namun, semua pikiran buruk itu pudar saat sebuah perkataan lembut melintas.
"Anda baik-baik saja?" Pria itu mengembalikan posisi kakinya sejajar kemudian berdiri.
Belva langsung bergegas berada di samping Lyliu dan meminta maaf atas kelalaiannya. Rawa juga mengikuti jejak Belva, sampai-sampai membuat Lyliu menoleh kanan-kiri kebingungan. Respon pria di hadapan mereka bertiga hanya tertawa kecil. Entah apa yang dipikirkan. Dalam situasi panik dan menegangkan ini, orang itu masih bisa tersenyum. Tidak melulu hanya memiliki wajah datar.
"Menjaga perempuan itu seperti menjaga barang paling berharga." Lanjut tuan pemilik rumah sebelum naik tangga menuju lantai tiga dan meninggalkan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mao's Journey [SELESAI]
Genç Kurgu[𝙽𝚎𝚠𝚊𝚍𝚞𝚕𝚝 - 𝚁𝚘𝚖𝚊𝚗𝚌𝚎] Andai saja Lyliu patuh pada waktu itu, mungkin ia tidak akan bertemu bahkan tinggal seatap bersama Zian dan Rawa. Terkadang, menjadi gadis bandal adalah opsi yang tepat. Memberikan bentuk energi positif atas kelak...