Seusai menghangatkan kembali sup telur, Lyliu meletakkan sendok dengan model cekungan cukup dalam. Tidak lupa ia menaburkan cincangan bawang daun di akhir sesi. Dirasa sudah cukup siap untuk dihidangkan, Lyliu membawa semangkuk sup telur tersebut dengan beralaskan nampan berukuran kecil.
Namun, saat hampir menginjakkan kakinya di anak tangga pertama, Rawa menghentikan langkah gadis itu. Batin Lyliu seketika menjadi sedikit was-was. Pikirnya, mungkin saja ada yang kurang di hidangan yang akan ia sajikan. Atau, Rawa ingin menitipkan sesuatu untuk kakaknya.
"Ada sesuatu di ikat rambutmu, Mao," ucap Rawa.
Lyliu langsung memposisikan dirinya mematung membelakangi kakak angkatnya. Guna dibantu mengambil sesuatu di ikat rambut. Sebab kedua tangan gadis itu dipergunakan demi menahan beban di barang bawaan. Ia tidak perlu menunduk atau menekuk sedikit lutut karena tinggi Rawa saja cukup jauh dari tingginya.
"Ada sesuatu?" tanya Lyliu.
Sekitar sepuluh detik menunggu jawaban Rawa justru apa yang pemuda itu lontarkan bukanlah sesuatu yang pasti. "Ada pita sama bola-bola kapasnya, hehe. Lucu kayak kamu."
"Apaan? Nggak penting banget. Aku kira ada hewan atau apa." Lyliu memasang ekspresi wajahnya kesal.
"Ada gajahnya, tapi di zoo. Udah sana, kasian kelaparan orang itu. Pokoknya kalau dia tidak mau makan, tetap paksa!" titah Rawa sambil mendorong sedikit bahu Lyliu agar ia cepat jalan.
"Kalau tetap nggak mau?" lanjut Lyliu sembari mereka berdua menaiki tangga.
"Kecup."
Satu kata dari mulut Rawa membuat seketika Lyliu menghentikan secara paksa kakinya untuk terus melangkah. Gadis tersebut memutar kepalanya seratus dua puluh derajat demi menoleh pada kakak angkatnya. Mata Lyliu membulat. Kedua alisnya ditarik ke tengah mengakibatkan beberapa kerutan tercetak di dahi.
"Heh! Apa maksudmu?" Lyliu menggunakan nada sedikit tinggi tetapi suaranya tidak begitu keras.
"Hehe ..., kecup punggung tangannya. Salim maksudku." Rawa menggaruk rambutnya yang tidak gatal hanya bergaya saja.
"Nggak jelas."
"Karena yang jelas hanya sayangku padamu, Mao."
Entah mengapa Lyliu merasa waktunya terbuang karena obrolan di tangga. Tanpa menanggapi kalimat akhir dari Rawa, gadis tersebut langsung melanjutkan langkahnya, meninggalkan Rawa. Sekarang ia terfokus untuk memberikan hidangan makan malam itu, tanpa memikirkan Rawa akan membantunya atau entahlah pergi ke mana dia seusai dari tangga.
🎐
Lyliu sudah berdiri di depan pintu kamar Zian. Berkesiap masuk. Sebelum itu ia mendekatkan nampan bawaannya dengan perut guna sedikit merangkul agar tangan satunya bisa dipergunakan untuk mengetuk pintu. Sepersekian detik menunggu pintu terbuka, kesabaran Lyliu udah setipis tisu. Akhirnya ia memanggil sang Tuan. Sama aja tanpa ada jawaban.
Berkali-kali gadis tersebut menyebutkan nama Zian, barulah ada sebuah suara dari dalam ruangan tersebut. "Masuk. Pintunya sudah tidak dikunci." Terdengar sedikit serak dan pelan.
Tanpa membuang waktu lagi, Lyliu bergegas menekan ganggang pintu. Seusai pintu itu terbuka, semerbak aroma sup telur hangat siap mengisi ruangan. Terlihat Zian duduk berbaring dengan bersandar bantal. Selimut tebal menutupi tiga perempat bagian kaki. Laptop terbuka dan berada di pangkuannya. Jemari Zian sibuk mengetik. Matanya terfokus pada layar. Bahkan ia tak menoleh saat Lyliu telah hadir di samping ranjangnya.
"Tuan, makan malam," sapa Lyliu.
Tanpa menggerakkan kepalanya, Zian menimpali gadis itu. "Tadi tidak mendengarkan perintah saya?"
"Sudah waktunya makan malam." Lyliu ingat kata Rawa bahwa bagaimanapun ia harus memaksa tuannya. Karena tujuan utama Lyliu tinggal di rumah itu adalah untuk bekerja. Maka ia berusaha sebaik mungkin, termasuk merawat tuan beserta adiknya.
Zian mengambil napas berat. Kemudian tanpa jeda membuangnya. Lyliu hanya diam terpaku dengan masih membawa beban dari berat nampan dan mangkuk sup. Entah mengapa saat itu meskipun sedang emosi Zian tidak bisa memarahi asisten rumah tangganya. Maka dari itu sebisa mungkin pria tersebut tidak banyak berinteraksi.
"Letakkan saja di situ. Saya akan memakannya nanti," pinta Zian sambil memberikan kode agar Lyliu meletakkannya di meja dekat ranjang tempat ia berbaring.
"Harus sekarang," sela gadis gadis tersebut spontan.
Mendengar kalimat Lyliu, Zian yang tadi tak menoleh sedikitpun langsung memutar kepalanya sembilan puluh derajat.
"Anda memerintah saya?"
"Maaf!" Lyliu menundukkan kepala serta segera meletakkan nampan dan mangkuk berisi sup telur. Firasatnya benar. Meskipun berusaha semaksimal mungkin dirinya tetap kalah. Sememaksa apapun, Lyliu tidak ada hak lebih untuk memaksa.
Karena suasana sudah tidak mengenakkan, Lyliu memutuskan segera berbalik badan dan berjalan keluar kamar. Zian yang masih memperhatikan gadis tersebut matanya membulat saat tertuju pada rambut Lyliu. Benar, terutama ikat rambutnya. Segera Zian mengesampingkan laptop lalu menyibak selimut dan berdiri jenjang.
"Tunggu!"
Langkah kaki Lyliu terhenti. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia lebih merasa ketakutan dibandingkan senang saat mendengar panggilan tuannya. Namun, Lyliu tetap berbalik badan dan menghadap langsung pada Zian. Jarak mereka berdua sangat dekat--kurang dari satu meter.
Lyliu hanya bisa menatap dada bidang Zian yang tertutup piyama bewarna abu-abu tua. Tubuh gadis itu gemetaran. Tanpa berlama lagi pria pemilik rumah langsung mengulurkan tangan kanannya melintasi atas bahu sebelah kiri Lyliu. Seperti akan mendekap kepala asisten rumah tangganya. Lyliu terkejut bukan main, ibarat tubuhnya seperti benda mati tak bergerak.
Telapak tangan Zian mengambil alat perekam suara yang terjepit di ikat rambut Lyliu lalu menekan tombol off. Kemudian menggenggam alat tersebut. Gadis itu tersadar saat beberapa helai rambutnya tertarik oleh jemari tuan pemilik rumah. Langsung ia menanyakan apa yang diperbuat Zian hingga sempat membuatnya detak jantungnya tidak tenang.
"Ada sesuatu?" Lyliu mendongakkan kepalanya.
"Hanya kulit bombai," jawab Zian singkat meski berbohong.
Dengan itu Lyliu teringat dan langsung curiga saat sebelumnya Rawa sempat meletakkan sesuatu di ikat rambutnya tadi. Lyliu tetap percaya pada Zian, bahwa itu hanyalah kulit bawang bombai.
Di sisi lain, Rawa berdiri di depan sebuah sakelar yang menghubungkan semua aliran listrik di rumah. Langsung melepas earphone-nya kesal. Rencana dengan Sana telah gagal. Perbuatan memasang alat perekam suara secara diam-diam adalah ulah Rawa. Langsung pemuda kelas sebelas SMA membuka ponsel dan roomchat dengan Sana--temannya.
Rawa
Aduh, gagal.
Kak Zi sepertinya udah tahu dan mematikan alatnya.Sana
Lo, sih! Narohnya kurang aman.Rawa
Nggak bisa leluasa, bocah!
Dipikir Mao cowok gitu.Sana
Rencana kedua harus berhasil, sih.Rawa
Baiklah, Nona. Kita coba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mao's Journey [SELESAI]
Teen Fiction[𝙽𝚎𝚠𝚊𝚍𝚞𝚕𝚝 - 𝚁𝚘𝚖𝚊𝚗𝚌𝚎] Andai saja Lyliu patuh pada waktu itu, mungkin ia tidak akan bertemu bahkan tinggal seatap bersama Zian dan Rawa. Terkadang, menjadi gadis bandal adalah opsi yang tepat. Memberikan bentuk energi positif atas kelak...