Malam semakin larut. Lyliu dan pria mengenakan piyama warna biru gelap polos masih terdiam. Sedari tadi berdiri memandangi ruangan yang megah diisi berbagai perabot indah. Ranjang berukuran luas, kasur empuk dilengkapi dua bantal dan satu guling serta selimut tebal itu masih rapi tertata.
Bukan warna hitam lagi, seprai putih membentang indah melengkapinya. Berbagai lukisan terpajang di tembok. Gorden simpel dua lapis telah menutupi jendela. Lemari besar yang akan menggapai langit-langit kamar terletak di sudut ruangan. Sofa berukuran panjang satu setengah meter berada di dekat pintu kamar. Satu set televisi serta meja menghadap lurus pada sofa. Karpet berbahan bulu halus membentang di bawah meja.
Vas bunga juga berbagai barang antik dan pastinya buku-buku tebal berjajar elok pada rak yang menempel di dinding dekat televisi. Lampu berbentuk seperti payung berdiri di meja kecil dekat ranjang. Suasana begitu sayup, hanya lampu tidur yang menerangi ruangan itu.
"Sampai kapan Anda akan berdiri di sana?" Pria pemilik rumah melontarkan pertanyaannya, membuyarkan lamunan Lyliu.
"Saya harus tidur di mana?" sahut gadis tersebut.
Pemuda yang sudah duduk di atas ranjangnya, bersiap untuk tidur harus berdiri dan berjalan ke lemari besar. Membuka salah satu pintunya, terlihat seluruh isi pakaian tergantung sangat rapi. Mengambil satu kain tebal yang terlipat di bagian bawah, lalu kembali untuk menyahut satu bantal.
Dua barang tersebut diberikan kepada Lyliu. Tanpa rasa ragu, gadis lugu itu langsung menerimanya. Kelihatan sekali kalau tuan pemilik rumah hanya akan berkata jika diperlukan, selebihnya dia akan diam. Mungkin gerak-geriknya sudah mengisyaratkan apa yang akan dia katakan. Menarik sekali orang ini bagi Lyliu.
"Terima kasih," ucap Lyliu disertai senyumnya.
Tanpa menjawab gadis tersebut, kaki pemuda itu langsung diangkat guna merebahkan tubuhnya. Menarik selimut menutupi seluruh bagian tubuh kecuali area bahu ke atas, kemudian berbaring menatap langit-langit kamar. Sedangkan gadis yang menerima dua benda tadi langsung membungkus dirinya juga berbaring di atas sofa.
Rasanya aneh sekali, bagi Lyliu sangat penasaran dengan pria yang mengancam Rawa waktu itu, apakah sama dengan tuan barunya sekarang. Postur tubuh serta wajahnya sekilas mirip, hanya saja sifatnya berbeda. Lagi pula mana mungkin kakak kandungnya sendiri mengancam adiknya. Tidak seperti Nevo.
Hal itu selalu menggebu di pikirannya. Beberapa menit gadis tersebut gunakan untuk memikirkan sesuatu yang bahkan tidak memengaruhi kehidupannya. Akhirnya sang kantuk datang membawanya pergi, terlelap dalam kegelapan.
Pukul lima dini hari, gorden sudah terbuka lebar. Meskipun belum ada sinar matahari yang terlihat, tetap saja jam segitu sudah sangat siang bagi tuan pemilik rumah. Kali ini Lyliu merasakan suatu kenyamanan tidur yang tidak biasa. Walau hanya sofa, tetapi sungguh empuk.
"Hei, bangun!"
Lyliu masih mengejap-kejapkan matanya, terkejut melihat pria tinggi berdiri dekat dengan wajahnya.
"Ini 'kan, masih malam,"
"Bangun, atau mau disapa matahari secara langsung?" timpal pria tersebut dengan wajah datar.
"Kebakaran 'dong," jawab Lyliu sambil mengumpulkan tenaga untuk bangkit dari tidurnya.
"Anda ke sini untuk apa?"
Setelah sepenggal kalimat itu terlontar dari lawan bicara yang tengah berdiri menghadapnya tersebut, Lyliu tersentak dan langsung berdiri. Selimut ditarik dan dilipat kemudian meletakkannya di atas sofa, lalu bantal di kembalikan lagi pada ranjang.
"Maaf, Tuan!" Menundukkan kepala seraya membungkukkan sedikit badannya.
"Tugas Anda pagi ini membersihkan rumah, jangan lupa masak sarapan terlebih dahulu. Tidak perlu makanan berat, sandwich, susu, sama buah saja. "
"Baik, Tuan," balas gadis itu langsung melesat meninggalkan kamar.
Menuruni tangga dengan tergesa-gesa, tetapi dia tetap berhati-hati. Sampai lantai paling bawah, langsung masuk kamar mandi asisten. Mencuci muka, gosok gigi dan menyisir rambutnya yang berantakan. Seusai itu menuju dapur dan memulai aksinya.
Lebih luas dari kamar asisten, dapur tersebut terlihat mewah dengan warna dominan putih dipadukan hitam serta abu-abu tua mengkilat. Lemari es begitu besar, bahkan lebih besar dibandingkan tinggi dari tubuh Lyliu. Terdapat lemari penyimpanan juga di atas. Semua perabotan masak tertata sangat rapi dalam satu lemari besar di bagian pinggir membentuk huruf L.
Terdapat sebuah penyekat di bagian tengah dengan model lurus simpel dihiasi tumbuhan merambat, guna menutupi bagian dalam dapur. Lantai pertama memang banyak tempat luasnya, bagian bawah tangga juga terdapat kolam hiasan kecil berisi ikan koi dengan ukuran yang tergolong tidak kecil juga. Susahnya, saat selesai memasak, harus membawa makanan ke meja makan di lantai dua.
"Sandwich ..., sand, pasir? Sandwich itu makanan apa dan bentuknya seperti apa?" Lyliu terus memutar otaknya sembari memotong buah pisang.
"Orang kaya biasanya sarapan roti dengan selai, mungkin itu yang dimaksud. Masih enak mie ayam."
Dua gelas susu putih hangat sudah siap, roti gantum dan selai kacang juga beres. Tinggal menata buah di piring, kemudian membawanya ke meja makan. Belum lama makanan akrab dengan meja, bel pintu utama di lantai dua berbunyi. Sebelum Lyliu berjalan untuk membukanya, Rawa sudah berada di belakang pintu. Entah dari mana munculnya anak itu.
Awal pagi begini sudah ada tamu? Sepertinya bukan sekadar tamu biasa. Terlihat Rawa yang sudah menggunakan seragamnya dengan rapi tanpa menggunakan almamaternya, langsung menyapa tamu dan mempersilakan masuk. Tidak, mereka juga saling bercanda juga bertegur sapa. Berarti benar, mungkin keluarganya dari jauh.
Kemarin menggunakan setelan jas dan celana warna abu-abu tua, sekarang berganti menjadi abu-abu muda. Dasi tetap selaras dengan warna jasnya. Kemeja masih tetap putih bersih. Sepatu hitam mengkilat sudah dikenakannya, bahkan suara telapak sepatu terdengar berwibawa saat menuruni tangga.
Rawa dan seorang pria yang baru datang duduk berhadapan. Sedangkan tuan pemilik rumah duduk di bagian tempat paling istimewa menghadap mereka berdua. Bagaikan seorang raja. Lyliu bergegas kembali ke dapur, karena susu dan roti isi selainya ternyata kurang. Namun, sebelum ia hempas, dihentikan oleh tuannya.
"Ini apa?" Tatapan tajam tersorot pada Lyliu sebagai tersangka utama.
"Sandwich," jawab gadis itu tanpa ragu.
Rawa dan pemuda di hadapannya langsung menahan tawa, mereka berdua juga saling menatap. Lagi-lagi wajah marahnya terlukiskan. Langsung berdiri tanpa menyentuh sedikit pun dari makanan. Meninggalkan mereka dan mengeluarkan kunci mobil di saku jasnya.
"Belva, Saya tunggu di mobil. Kita bisa makan di kantor. Rawa, Kau boleh habiskan Sandwich isi selai kacang itu," ucap tuan pemilik rumah tersebut sembari membuka pintu.
Pria yang dipanggil Belva, hanya mengambil beberapa potong buah lalu membuntuti temannya. Sedangkan Rawa, menghabiskan segelas susu hangat, memakan beberapa potong buah dan menggigit roti dengan selai kacang. Sebelum mengikuti kakaknya juga, ia sempat tertawa lepas di hadapan Lyliu.
"Mao, lain kali akan aku ajarkan Kau untuk mengenal makanan, ya. Hahaha."
"Ish, Kau ini. Salah kah?" Lyliu memutar otaknya. Ia kira hidangan yang disuguhkan itu benar.
"Yang dimaksud kakak itu isian sayur segar dan smoke beef yang diberi mushroom sauce dengan sedikit aroma garlic. Memang, ini juga tergolong sandwich, tetapi bukan yang isian selai kacang doang."
"Ya, mana tahu. Sana ditungguin kakakmu!" cetus Lyliu kesal.
Rawa segera menyusul mereka. Sengaja tidak mengunci pintu utama, tetapi saat mobil hitam meninggalkan halaman rumah, kemudian berhenti sejenak di luar pagar. Anak SMA turun dari mobil, lalu mendekatkan telapak tangannya. Sensor berjalan, dengan segera pagar menutup sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mao's Journey [SELESAI]
Novela Juvenil[𝙽𝚎𝚠𝚊𝚍𝚞𝚕𝚝 - 𝚁𝚘𝚖𝚊𝚗𝚌𝚎] Andai saja Lyliu patuh pada waktu itu, mungkin ia tidak akan bertemu bahkan tinggal seatap bersama Zian dan Rawa. Terkadang, menjadi gadis bandal adalah opsi yang tepat. Memberikan bentuk energi positif atas kelak...