Bab 16 𓋼𓍊

72 16 58
                                    

"Kenapa, Kak? Kau marah padaku? Seharusnya sebaliknya bukan? Karena dirimu, bunda meninggal!" Pemuda yang dipanggil Hansen tadi menampakkan emosinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenapa, Kak? Kau marah padaku? Seharusnya sebaliknya bukan? Karena dirimu, bunda meninggal!" Pemuda yang dipanggil Hansen tadi menampakkan emosinya.

"Tidak sepantasnya Kau berbicara seperti itu!" sela Rawa.

"Berapa kali harus kubilang? Kita sudah nggak ada hubungan lagi, kan. Kenapa Kau masih mengoceh di sini?" Hansen terus kesal pada mereka semua.

Zian melepas cengkeramannya, sedangkan Belva langsung menghadap adiknya marah. "Hansen, cukup! Kalau bukan karena Kak Zian, kita mungkin tidak bisa hidup berkecukupan seperti ini. Kalau bukan karena Rawa, Kau mungkin tidak akan bersekolah di SMA impianmu!"

"Kalau bukan karena ketelatan mereka juga untuk ngasih uang, bunda tidak akan meninggal!" umpat Hansen kemudian ia berlari meninggalkan mereka.

Belva mencoba mengejarnya, tetapi dicegah oleh Zian dan Rawa. Terlalu putus asa untuk kehidupan selanjutnya. Pria dua puluh dua tahun itu begitu terpuruk. Malaikat tak bersayapnya sudah berpulang. Ia menyesali semua perbuatannya, begitu juga meratapi semua luapan kekesalan adiknya. Belva langsung duduk lemas di kursi dekat pintu kamar. Zian memberi kode agar Rawa segera mengurus kepulangan jenazah.

Sana mengikuti kepergian Rawa. Tinggal Lyliu beserta tuannya dan Belva. Zian duduk di samping pria tersebut. Begitu juga gadis yang tertinggal di sana, ikut duduk di sebelah Belva. Posisi pria yang mulai meneteskan cairan bening berada di tengah. Saling diam di antara mereka. Sampai akhirnya Belva bergumam lirih mengiringi tangisnya.

"Payah sekali diriku, sangat bodoh!"

Lyliu benar-benar terbawa suasana. Melihat Hansen dan kakaknya yang kehilangan ibunya. Ia jadi teringat waktu dulu ditinggalkan sang ibu ketika masih berusia lima tahun. Hati kecil gadis tersebut amat sesak. Ingin rasanya ikut meluapkan air mata bersama menemani Belva. Posisi dan hal yang dialami sama, ditinggalkan wanita pertama yang dicintai.

"Kenapa tidak meminta uang padaku dan memberitahuku sebelumnya?" tanya Zian dengan nada datarnya. Kini amarahnya mulai mereda saat melihat wajah Lyliu yang seakan hadir dalam kesedihan adik angkatnya itu.

"Aku nggak ingin merepotkanmu, Kak. Sudah terlalu banyak bebanku yang Kakak tanggung," jawab Belva sambil mengusap cairan bening yang membuat matanya sembab.

"Kau anggap aku ini apa? Kita sudah saudara."

"Maafkan aku, Kak. Sungguh menyesal tidak meminta bantuanmu waktu itu."

"Di luar masalah pekerjaan, Kau bisa meminta apapun padaku dan anggap aku sebagai saudaramu sendiri." Zian mengelus punggung Belva dengan lembut. Pria itu sudah menganggapnya sebagai adik sendiri. Belva yang selalu terlihat tegar dan bisa diandalkan, kini rapuh serta merasa sangat menyesal.

Beberapa saat kemudian, Rawa diikuti Sana datang. Mereka berdua telah menyelesaikan proses pembawaan pulang jenazah. Kelima orang di sana bergegas menuju mobil. Ambulans sudah siap dan turun ke jalan raya. Zian memegang kemudi dan langsung tancap gas mengikuti ambulans. Sebelumnya Belva menawarkan diri untuk menyetir, tetapi Zian melarangnya.

Mao's Journey [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang