Bab 49 𓋼𓍊

27 10 117
                                    

Seusai membaca pesan dari Belva, bukan khawatir lagi yang menyertainya saat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seusai membaca pesan dari Belva, bukan khawatir lagi yang menyertainya saat ini. Bahkan rasa panik dan sedikit kesal terhadap undangan pada acara Mazira yang menurutnya tidak begitu penting dibandingkan harus selalu ada di sisi Lyliu. Untung saja, wajah datar Zian mampu menyelamatkan segalanya. Bahkan gempar di dalam tubuhnya pun tidak terlihat sama sekali.

Pria itu memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Jam tangan perpaduan warna hitam dan silver dengan harga setengah miliar yang dikenakan itu mengenai ujung meja ketika Zian bersiap diri. Bunyi yang dihasilkan, membuat beberapa pandangan orang tertuju padanya, termasuk Nai Nai. Melihat sang putra seperti bergegas, wanita paruh baya tersebut jelas saja ingin sebuah pernyataan dari Zian.

Nai Nai menatap sinis. "Kenapa?"

"Aku harus segera pulang," jawab Zian.

"Acaranya belum selesai, Zian. Mama juga ingin mengajakmu mengobrol dengan Mazira nanti."

"Tidak untuk saat ini, Ma. Nanti, aku akan pesankan kendaraan untuk mengantar Mama pulang. Atau, aku akan panggil asisten Mama ke sini." Zian berdiri dan berjalan meninggalkan ballroom.

Nai Nai memanggil putranya lirih. "Zian!" Namun, pria itu sudah lebih dahulu beranjak pergi.

Pasti gara-gara pembantu sialan itu.

Mazira yang sedang mengobrol dengan teman sekampusnya, melihat wanita dari pria incarannya itu duduk sendiri. Otomatis, matanya menelisik teliti di mana keberadaan Zian saat ini. Sebab sebelumnya, ia sempat melihat pria itu duduk bersama Nai Nai. Karena sudah memasuki jam makan malam juga, Mazira mengambil beberapa menu hidangan yang tersaji untuk dibawakannya ke meja tempat Nai Nai duduk.

🎐

Sisi lain, tanpa sengaja Hansen melihat semuanya. Apa yang sedang terjadi pada Lyliu. Karena Hansen tahu, bahwa gadis itu sedang dalam bahaya. Tentu saja ia langsung menuju pintu tempat tersebut dan memaksa masuk. Beberapa kali Hansen berteriak, tatapi sepertinya yang di dalam tidak bisa mendengarkan apapun kericuhan di luar. Pemuda itu memberontak untuk memaksa masuk, malah dirinya yang menjadi samsak gratis bagi para pria penjaga.

"Pergi sana!" bentak seorang pria berbadan kekar.

Hansen yang keadaannya sudah babak belur, tak kuasa untuk melawan. Ia memilih menjauh dari tempat itu. Berusaha keras untuk bangkit dan berjalan meski perutnya terasa begitu nyeri. Cairan merah segar keluar dari hidung dan ujung bibirnya. Lebam sudah tak terhitung pada wajah. Dada Hansen mulai terasa sesak. Ia duduk di balik material sisa bangunan. Mengeluarkan ponselnya yang sekarang layarnya sudah retak itu. Hansen dengan cepat melakukan panggilan pada sang kakak.

Sementara di dalam ruangan, Lyliu bengitu tidak nyaman dengan suasana yang sedang terjadi. Lampu kelap-kelip dan musik keras begitu menggemparkan telinga. Tivany terus menggiringnya di area bar. Lyliu yang tidak mengerti, hanya mengikuti langkah teman sekelasnya itu. Tivany memesan segelas cocktail. Gadis tersebut sempat menawarkan pada Lyliu. Namun, ditolak cepat. Ketika pesanan Tivany datang, aroma yang keluar dari minuman tersebut membuat Lyliu pusing seketika.

Mao's Journey [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang