Mereka berempat telah sampai di rumah megah tiga lantai. Rawa sengaja turun di depan pagar, sedangkan sisanya langsung masuk dan berjalan ke ruang tamu. Lyliu sempat bertanya perihal apa yang membuat kakak keduanya itu tidak ikut untuk langsung masuk. Padahal waktu hampir menunjukkan pukul delapan malam. Rawa tidak menjawabnya jujur, dirinya beralasan hanya ingin menelepon Sana guna memberitahukan kemenangan Lyliu hari ini tanpa diganggu.
Ketika beberapa menit kemudian, Zian dan Belva duduk merebahkan tubuh di sofa yang begitu empuk. Lyliu yang hampir menyentuh anak tangga turun ke lantai dasar, langkahnya langsung dihentikan oleh suara Zian yang begitu datar. Jelas saja, gadis itu langsung menoleh karena tuan pemilik rumah sendiri yang sedang memanggilnya. Memutar arah tubuhnya, Lyliu melihat Zian tersenyum singkat kemudian menggerakkan tangan kanannya ke arah sofa di samping pria itu duduk.
Entah apa yang mendasari hal tersebut, rasa was-was Lyliu kembali muncul. Apakah ada sesuatu yang akan dibicarakan tuannya? Tanpa berlama lagi, gadis itu kembali berjalan ke arah sofa. Ia duduk di sofa seberang yang berhadapan langsung dengan Belva. Sedangkan Zian tepat berada di sofa seberang samping kirinya. Keringat tiba-tiba hadir membasahi pelipis Lyliu. Beberapa kali pertanyaan muncul memenuhi benak pikirnya. Apakah ia telah membuat kesalahan?
"Anda lelah?" Zian bertanya seketika mengisi keheningan.
"Umm .., lumayan," jawab Lyliu sedikit terkejut karena tatapannya pada Zian dibalas langsung dengan pria tersebut.
"Ingin istirahat langsung?" Zian kembali melontarkan bentuk perhatian kecil.
"Jika tidak ada hal penting, boleh saya istirahat?" Lyliu meremas bagian baju atasannya yang menutupi bagian paha. Gadis itu begitu gugup.
Belva memotong percakapan mereka berdua. Pria itu izin keluar sebentar untuk menerima telepon dengan menyebutkan nama Hansen, adiknya. Padahal sesungguhnya, yang menelepon Belva adalah Rawa yang sedang berada di luar. Jantung Lyliu berdetak cepat. Justru saat berdua memang memberikan kesempatan lebih agar tidak malu ketika saling mengobrol dengan tuannya. Namun, justru waktu berdua itulah yang membuat Lyliu maupun Zian tidak bisa mengendalikan dirinya masing-masing dan condong lebih canggung.
"Bisakah Anda menunggu sejenak?" lanjut Zian.
Lyliu mengangguk. "Terima kasih banyak, Tuan," celetuknya secara tiba-tiba.
"Untuk apa?" Zian menoleh kembali pada gadis tersebut, kepalanya serasa dirundung banyak tanda tanya.
"Untuk semuanya." Cairan bening dari kedua mata Lyliu mulai menetes. Gadis itu menundukkan kepalanya. Kedua telapak tangan mungilnya masih meremas-remas pakaian yang ia kenakan. Sejenak gemetaran.
"Terima kasih telah memberikan banyak sekali. Saya tahu, saya tidak akan pernah bisa membalasnya. Kembali sekolah, ponsel, tempat tinggal, biaya makan, semuanya. Semuanya, saya tidak akan pernah bisa membalasnya." Lyliu mulai sesegukan, beberapa kali ingus yang ia seruput kembali menganggu momen menyedihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mao's Journey [SELESAI]
Novela Juvenil[𝙽𝚎𝚠𝚊𝚍𝚞𝚕𝚝 - 𝚁𝚘𝚖𝚊𝚗𝚌𝚎] Andai saja Lyliu patuh pada waktu itu, mungkin ia tidak akan bertemu bahkan tinggal seatap bersama Zian dan Rawa. Terkadang, menjadi gadis bandal adalah opsi yang tepat. Memberikan bentuk energi positif atas kelak...