Bab 10 𓋼𓍊

84 22 79
                                    

Pukul sembilan malam, lampu di seluruh rumah dipadamkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul sembilan malam, lampu di seluruh rumah dipadamkan. Kecuali kamar asisten rumah tangga yang sekarang ditempati Lyliu, ruang tamu, dan kedua kamar di lantai tiga. Gadis yang sedari tadi menangis mengingat kakaknya serta dijahili Rawa, sudah tertidur pulas berselimut tebal. Hawa malam ini memang sedikit dingin, waktu tepat ketiga pria di rumah tersebut membicarakan hal penting.

Sofa empuk yang berhadapan dipisah dengan meja kaca berbentuk persegi panjang. Vas-vas besar dilengkapi bunga terpajang di semua ujung sofa menambah keindahan ruang tamu. Rawa duduk bersebelahan dengan Belva. Sedangkan tuan pemilik rumah duduk menghadap mereka berdua. Kertas putih penuh tulisan ditumpuk. Ada juga yang berserakan di pinggirnya.

"Sesuai data, Mao menjadi korban perdagangan manusia oleh ayahnya sendiri," jelas Belva pada mereka berdua.

"Apa! Dijual?" Rawa terkejut histeris mendengar sepatah kalimat dari pria di sampingnya.

Belva mengangguk pasrah, diiringi tuan pemilik rumah yang kerap dipanggil 'kak Zi'. Rawa mengambil selembar kertas di tumpukan itu dengan kasar, lalu memlototinya. Membolak-balik dengan tergesa-gesa. Melihat hal tersebut, pria paling dewasa di antara mereka mengkode Belva agar meneruskan presentasi tentang penyelidikannya.

"Untuk pembelinya belum diketahui, karena Mao berhasil melarikan diri. Dari tempat tinggal pertamanya di Surabaya, kemudian berada di Mojokerto. Dirinya hidup di Mojokerto bersama seorang nenek paruh baya yang menganggapnya sebagai cucu sendiri. Untungnya, ia tetap melanjutkan pendidikan SMP-nya dengan predikat sangat baik, dan SMA sampai pertengahan kelas XI."

Belva memberi jeda pembicaraannya agar dapat dicerna dan dimengerti oleh pendengar. Rawa menyela dan memanfaatkan waktu jeda dari Belva untuk bertanya. "Surabaya dan Mojokerto adalah kota di Jawa Timur. Lalu, bagaimana dia bisa sampai di Jakarta?"

"Nah itu yang tidak aku temukan, Rawa. Sebenarnya dia memiliki seorang kakak laki-laki. Namun, ia lebih memilih hidup dengan ayahnya," jawab Belva sembari merapikan kertas berserakan di meja.

"Kakak macam apa itu!" Nada bicara Rawa meninggi.

"Mao putus sekolah baru-baru ini. Kemungkinan besar, dia tinggal di Jakarta juga belum lama," celetuk pria yang menjelaskan semuanya.

Tuan pemilik rumah menyilangkan kakinya, sambil mengangkat gelas kaca berisikan air putih dan potongan lemon. Kemudian mendekatkan ke bibirnya. Teguk demi teguk terlihat jelas saat jakunnya naik-turun. Aura anggun serta berwibawa memang tak luput dari raganya. Mungkin karena, sedari kecil hidupnya yang serba berkecukupan.

Rawa semakin kesal mendengar penjelasan Belva tentang masa lalu Lyliu. Orang tua macam apa yang tega menjual anaknya sendiri. Bahkan kakaknya juga tidak ada effort untuk melindungi adiknya. Beruntung saja Lyliu masih menemukan orang baik seperti neneknya di Mojokerto dan tiga pria yang siap menjaganya sebagai kakak.

Zian, melakukan pengecekan ulang terhadap berkas-berkas dari Belva. Semua isinya akurat. Mulai dari biodata pribadi, bahkan asal sekolah serta alamat lengkap tempat tinggalnya di Surabaya maupun Mojokerto. Hal ini membuat tuan pemilik rumah percaya bahwa Belva memang bisa diandalkan.

Mao's Journey [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang