Bab 20 𓋼𓍊

62 15 62
                                    

Tampak Zian memasuki ruang kerjanya, merapikan buku di atas meja lalu menggeser kursi beroda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tampak Zian memasuki ruang kerjanya, merapikan buku di atas meja lalu menggeser kursi beroda. Nai Nai membuka pintu kaca buram, tanpa bercakap lagi langsung duduk di kursi utama. Wanita tersebut menyilangkan kakinya sembari kedua tangannya dilipat di perut. Pria itu berdiri di depan sang mama berjarak satu meja.

"Ma," sapaan awal dari Zian.

Nai Nai tidak merespon. Hanya lirikan kecil beberapa detik sempat ia luncurkan. Namun, tidak bertahan lama. Seketika suasana menjadi hening. Meskipun ruang kerja dan rumah itu miliknya, tetapi Zian tidak bisa melawan ataupun kekuasaan lebih tinggi dari wanita tersebut.

"Zian, Mama tidak pernah mengajarkanmu memungut orang sembarangan. Untuk Belva dan adiknya dulu sudah Mama iyakan, tapi tidak untuk gadis ini."

Zian masih diam menunggu wanita di depannya melanjutkan kalimat. Akan tetapi, sepertinya tidak ada susunan kata susulan. Pria pemilik rumah berjalan menuju sebuah rak buku kecil di sebelah kanan perangkat PC. Sebuah buku diambilnya kemudian dibuka acak halamannya.

"Dia hanya asisten rumah tangga." Sepenggal kalimat keluar dari mulut pria tersebut.

Nai Nai bangkit dari posisi duduk, langsung menggebrak meja. "Gadis seusia dia bisa apa? Asisten rumah tangga, Mama bisa carikan untuk kalian yang lebih layak."

Zian menutup buku di tangannya dan menoleh pada sang mama. "Dia bisa semuanya, bahkan belum waktunya untuk dia menginjak dewasa."

"Mama tahu bagaimana Rawa sangat menginginkan seorang adik perempuan. Aku menerima Mao atas permintaan Rawa," lanjut pria tersebut.

Nai Nai terdiam. Menunduk sejenak dan kedua matanya sudah dibasahi oleh cairan bening yang mulai berkumpul. Segera dengan cepat kedua jemari tangannya merogoh resleting tas bewarna marun. Mengeluarkan selembar sapu tangan. Tanpa pikir panjang langsung menadahkan air matanya sebelum jatuh membasahi pipi. Membuat Nai Nai kembali berkelana dalam masa lalunya.

🎐

Nai Nai duduk di sofa dengan perutnya yang semakin membesar. Ia memandangi sebuah kertas bercetak foto berukuran A5. Dua anak laki-laki terlihat tersenyum bahagia tanpa beban. Salah satu di antara mereka berdua terlihat lebih aktif serta usil. Kakinya diangkat seakan mau menendang. Mereka berdua kembar.

"Bian, Mama rindu. Sebentar lagi akan ada adik baru selain Zian dan Rawa."

Rawa berlari seusai membereskan mainannya. Ia langsung ikut serta duduk di sofa dan memeluk perut ibunya. Nai Nai spontan menyembunyikan kertas foto anak laki-laki kembar itu dari putranya yang paling kecil. Namun, Rawa sudah menebaknya karena dia pernah melihat foto itu di kamar Zian.

"Ma, adik cewek kapan keluar? Rawa tidak sabar."

"Sebentar lagi, Wa. Kalau nanti sudah ada adik ceweknya, Rawa nggak boleh nakal, ya. Janji sama Mama," Nai Nai mengelus lembut rambut anaknya.

Beberapa hari sebelum persalinan, Nai Nai sempat mengalami kontraksi hebat akibat usia kehamilan yang terlalu tua dan membuatnya harus kehilangan janin serta rahimnya diangkat. Pupus sudah. Berita ini didengar langsung oleh Rawa yang mana dirinya sudah membayangkan memiliki seorang adik. Zian pada waktu itu masih berusia dua belas tahun langsung memeluk erat adiknya.

"Rawa nggak bisa punyaku adik, ya, Kak?"

"Kan, Rawa punya Kakak," balas Zian sambil mengusap cairan bening di pipi adiknya.

"Rawa ingin adik." Tangisnya semakin menjadi-jadi.

"Besok kita open member kalau sudah besar," ucap Zian enteng guna menenangkan adiknya.

Secara tidak sengaja, obrolan mereka berdua didengar oleh sang mama. Nai Nai merasa sangat bersalah tidak bisa memberikan suatu kebahagiaan untuk kedua anak lelakinya. Ayah Rawa mendorong pelan kursi roda yang diduduki istrinya. Pintu ruangan tempat Nai Nai dirawat terbuka. Sepasang suami istri melihat anak dua belas tahun masih memeluk erat anak enam tahun.

Wanita itu melentangkan kedua tangannya lebar. Sang suami memijat pelan bahu istrinya. Zian dan Rawa langsung berlari menuju pelukan Nai Nai. Wanita tersebut kembali hanyut dalam deras air mata. Rawa lebih dulu sampai dan mendekap erat tanpa sela. Disusul Zian dengan lembut pendiriannya ikut serta dalam rangkulan.

Nai Nai merasakan isak tangis begitu dalam, membuat beberapa kalimat bergumam sendiri di hatinya. "Andai kamu hadir di sini, Bian. Serta adik barumu."

🎐

Zian menyaksikan ibunya diam seusai menghapus air matanya dengan sapu tangan. Hening kembali hadir. Pria pemilik rumah memang tidak banyak bicara. Dirinya lebih cocok dikatakan sebagai pendengar yang baik. Namun, jika tidak menggangu jam sibuknya.

"Mama baik-baik saja?"

"Lupakan masalah gadis itu. Ada yang lebih penting sehingga Mama menghampirimu." Tatapan mata Nai Nai kembali lebih tajam.

Mendengar kalimat tersebut, Zian lebih fokus dan wajahnya semakin terlihat serius. Alisnya sedikit diturunkan. Ekspresinya datar dengan mata sipit yang khas. Wanita itu berjalan mendekati putranya. Ia merapikan dasi dan jas milik Zian, kemudian menepuk pelan bahu anaknya. Sekarang kedua putranya bukan anak kecil lagi yang harus dibelai rambut pada kepalanya.

Nai Nai menarik napas panjang sebelum melontarkarkan sepenggal kalimatnya. "Mama ingin Kau mengurus kerjasama perusahaan di Cina. Kunjungi kakek buyutmu di sana, minta restu untuk pertunanganmu."

Pria pemilik rumah langsung menyela tanpa memberi jeda. "Ma, Zian tidak salah dengar?"

"Dua tahun lagi, Mazira akan menyelesaikan S2-nya. Mama harap kalian akan segera ke pelaminan."

Nai Nai menyahut tas bewarna marun lalu berjalan menuju pintu ruangan. Zian mencoba menghentikan sang mama. Karena ia tidak terima obrolan itu terputus sampai pada sebuah pernyataan yang pria itu sendiri tak menyetujuinya. Ganggang pintu ditekan oleh wanita tersebut, dengan cepat Zian menahan pintu yang akan terbuka ditarik oleh Nai Nai.

"Ma, kapan Zian menyetujui hal itu?" sewot pria pemilik rumah dengan nada bicara sedikit meninggi.

Nai Nai berkacak pinggang kemudian menjawab pertanyaan putranya. "Luvy belum terlupakan, ya?"

"Bukan karena itu." Zian sudah sangat kesal. Dirinya tidak mau memperpanjang lagi masalah ini. Hanya diam yang terlukis di wajahnya sekarang.

Ini foto Zian dan Bian yang dipegang ibu mertua tadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini foto Zian dan Bian yang dipegang ibu mertua tadi.

Upss, nyonya Nai Nai maksudnya hehe.

Mao's Journey [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang