Tangan kanan Zian meremas pembungkus ranjang rumah sakit. Pria itu membuka kedua matanya pelan. Bulu matanya yang panjang nan lurus seringai ikut naik ke atas. Iris mata bewarna kecokelatan bergerak pelan mengamati sekeliling. Hanya sebuah corak warna dominan putih itu dilihatnya. Barulah saat matanya bergerak ke arah kiri, didapatinya sang kaki tangan yang selalu hadir tersebut menampakkan wajah penuh harapan.
"Syukurlah, Kak. Bagaimana rasanya? Masih sakit di bagian mana?" ucap Belva sembari membenarkan selimut tuannya yang mulai melorot.
Zian berusaha melawan magnet yang melekatkannya dengan ranjang tidak begitu besar itu. Berusaha menekuk tubuhnya yang sedari tadi hanya berselonjoran lurus. Belva adalah pria sigap. Dengan segera ia langsung peka membantu tuan sekaligus kakak angkatnya. Sebelumnya Belva sempat tersadar, mengapa Zian ingin duduk sementara bagian kepala ranjangnya itu bisa di gerakkan ke atas.
"Minta tolong antarkan aku ke toilet." Kalimat yang terucap dari mulut Zian sebelum Belva melontarkan pertanyaannya.
Kedua pria kepala dua langsung menuju toilet. Sorot mata Zian tajam pada Belva. Kemudian, barulah kaki tangannya itu sadar bahwa mereka berdua masuk di satu toilet. Belva segera keluar dengan gugup dan meminta maaf pada Zian. Pintu toilet tertutup. Kebetulan di sebelah toilet yang tersedia di dalam ruangan tersebut terdapat kaca besar yang langsung menghubungkan ke taman milik rumah sakit tersebut.
Belva mengamati langsung segala sesuatu yang berada di taman, termasuk orang-orang yang berlalu lalang. Dari ketinggian di lantai tujuh, tidak membuat pandangan pria itu sedikit buram. Justru sorot kedua netranya bak roket meluncur, tertuju pada dua muda-mudi berjalan saling bergandengan. Tidak salah lagi, itu adalah Lyliu dan Rawa. Ibarat anak remaja yang saling cinta monyet. Sayangnya Rawa sedikit tidak terlihat seperti remaja. Lebih dari pada itu.
Seusai keluar dari toilet, kemudian Belva membimbingnya untuk kembali beristirahat. Bagain kepala ranjang dinaikkan ke atas sehingga menjadi sudut seratus dua puluh derajat. Zian membuka ponselnya. Terlihat mimik wajahnya berubah menjadi lebih serius. Seperti membaca sebuah pesan panjang. Lalu dengan cepat kedua ibu jarinya menekan di bagian layar. Selepas mengirimkan pesan tersebut, Zian langsung meletakkan ponselnya di nakas dekat dengan ranjang.
"Di mana Mao?" tanya pria tersebut pada seorang pria juga di sampingnya yang sibuk membuka plastik pembungkus dari keranjang buah.
Belva mengeluarkan beberapa buah apel. "Meraka tadi sedang di taman menenangkan diri."
"Memangnya ada kejadian apa?"
"Mama Kak Zi tadi ke sini dengan Mazira," jawab Belva sedikit gugup dan menundukkan kepalanya. Ia merasa bersalah atas pesan sebelumnya yang telah ditugaskan untuk dirinya.
"Apa yang mereka lakukan?" Zian menatap dalam-dalam adik angkatnya.
"Maaf, Kak."
Zian menghela napas. Ia memejamkan matanya sejenak. Menikmati semilir udara tersisa berada di depan hidungnya. Walau Belva belum memaparkan segalanya, seakan Zian tahu bahwa apa lagi yang berhubungan dengan Mamanya. Kalau tidak memarahi Lyliu. Terkadang pikiran Zian menjadi sangat kacau karena masalah ini. Terkadang juga keputusan yang akan diambil dari pemikirannya itu tidak sinkron dengan hati kecilnya. Diakui tidaknya, Zian mulai menempatkan Lyliu di hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mao's Journey [SELESAI]
Novela Juvenil[𝙽𝚎𝚠𝚊𝚍𝚞𝚕𝚝 - 𝚁𝚘𝚖𝚊𝚗𝚌𝚎] Andai saja Lyliu patuh pada waktu itu, mungkin ia tidak akan bertemu bahkan tinggal seatap bersama Zian dan Rawa. Terkadang, menjadi gadis bandal adalah opsi yang tepat. Memberikan bentuk energi positif atas kelak...